INDONESIA memiliki sebanyak 126 juta orang pekerja yang 57% diantaranya merupakan pekerja informal. Rerata jumlah pengangguran mencapai 9 juta jiwa yang berasal dari 7 juta pengangguran dan 2 juta lainnya merupakan angkatan kerja baru.
Angka pengangguran dan angkatan kerja yang belum bekerja itu perlu ditekan bila Indonesia ingin meraih target pertumbuhan ekonomi di angka 6% sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Setidaknya, dibutuhkan sebanyak 400 ribu orang angkatan kerja terserap untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar 1%. Hal itu menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi.
Untuk mengimplementasikan asa itu, pemerintah membuat aturan yang dapat membuat iklim usaha kondusif yang berujung pada penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Demikian dikatakan Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono saat berdiskusi bersama pewarta di kantornya, Jakarta, Jumat (17/1). Aturan tersebut tertuang dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang menggunakan skema omnibus law.
Belakangan, isu yang mencuat ialah terkait dengan ketenagakerjaan dan sistem pengupahannya. Beredar informasi, dalam RUU tersebut tenaga kerja seolah ditindas oleh pemerintah karena aturannya yang tidak memihak kepentingan pekerja.
Namun hal itu dibantah oleh Susi, menurutnya dalam RUU itu, justru pekerja dalam negeri yang paling diuntungkan. Ia juga menegaskan, tidak ada poin atau substansi dalam RUU itu untuk memangkas upah minimum pekerja.
“Dijamin tidak turun, tidak dapat ditangguhkan dan kenaikannya disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerahnya.
Peraturan soal upah minimum hanya berlaku bagi pekerja yang bekerja kurang dari satu tahun. Namun aspek pemenuhan hak dan perlindungan pekerja akan tetap dilakukan sama.
Sedangkan di industri padat karya, pemerintah memberikan insentif untuk pelaku usaha menentukan penghitungan upah minimum pekerja. Hal itu diputuskan dengan pertimbangan keberlanjutan produktivitas usaha tersebut.
Menyoal upah per jam yang tersiar akan merugikan tenaga kerja, Susi menepisnya dengan menjelaskan maksud dari poin upah per jam itu.
“Upah itu dapat diberikan per jam untuk jenis pekerjaan tertentu yang memang nature nya pasti penggajiannya per jam. Contoh, konsultan, pekerja paruh waktu, itu kan pasti per jam ada juga di sektor ekonomi baru, ekonomi digital.
Sistem per jam itu tetap melindungi hak pekerja. Sehingga upah yang berbasis jam kerja tadi juga tidak menghapus upah ketentuan minimum. Kita ingin memperjelas aturannya supaya mendukung mereka.
Kemudian menyoal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Susi mengungkapkan, terlalu banyak informasi yang tidak benar beredar di masyarakat. Padahal, pemerintah memberikan fasilitas tambahan kepada pekerja yang menjadi korban PHK.
“Pemerintah justru menambahkan yang namanya JKP, jaminan kehilangan pekerjaan. Tolong dicatat betul, JKP tidak menggantikan jaminan sosial lain, ini tambahan baru dari pemerintah untuk melindungi pekerja yang terkena PHK. Manfaatnya, cash benefit vocational training, atau job lisment. JKP juga tidak menambah iuran bagi penerima manfaat. JKP diberikan juga kepada pekerja kontrak.
Hingga Jumat (17/1), progres pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja dengan Skema Omnibus Law itu masih dalam tahap finalisasi. Ditargetkan, pada Minggu (19/1) produk hukum sapu jagat itu akan selesai.
Dengan demikian, diharapkan pada pekan depan draft RUU tersebut berada di tangan DPR. Per hari ini, sebanyak 79 UU dan 1.244 pasal diubah, ditambah dan digantikan ke dalam RUU.