Suarayogyakarta.com – Dalam era digital dewasa ini apa yang terjadi di belahan bumi bisa dengan mudah diketahui oleh masyarakat lainnya dalam waktu yang nyaris sama dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi.
Peran media sosial juga tidak bisa diabaikan. Medsos telah menjadi satu faktor yang mengubah perilaku dan sikap masyarakat. Masyarakat dunia saat ini telah terintegrasi secara global sehingga mudah bisa diketahui di Indonesia.
Di antara berbagai isu, masalah paparan radikalisme adalah satu hal yang harus diwaspadai. Untuk mencegah hal itu, pemahaman agama dinilai penting bagi anak didik di sekolah.
Pemahaman agama ini harus berasal dari sumber yang jelas. Bukan malah dari media sosial atau mesin pencarian.
“Jangan mencari informasi agama dari media sosial, tapi dari sumber terpercaya misalnya kiai atau ustaz yang memang memiliki pemahaman agama yang mumpuni,” ujar Iptu Sudiasih, Kanit Bintibmas Sat Binmas Polres Bantul, Yogyakarta, Rabu(15/1).
Karena radikalisme adalah ideologi yang ingin melakukan perubahan sistematis dalam masyarakat, maka perlu ada upaya yang sistematis pula untuk mengatasinya. Salah satunya dengan mendalami ajaran agama dari sumber-sumber tepercaya.
“Jangan mencari informasi agama melalui medsos, apalagi medsos jadi penyebaran informasi yang tidak benar,” sambungnya kala memberikan pemaparan di SMP & SMA Kesatuan Bangsa.
Selain dihadiri oleh siswa, guru hadir pula pada seminar tersebut kepala sekolah SMP Kesatuan Bangsa Ahmad Fauzi, kepala SMA Kesatuan Bangsa Ahmad Nurani.
“Selain pemahaman agama yang benar, juga dituntut adanya keterbukaan pikiran (open minded) dan kewaspadaan terhadap upaya perekrutan kelompok radikal,” ujar Ahmad Ihsanudin humas SMA Kesatuan Bangsa, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu(18/1).
Sebelumnya, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyebut internet menjadi salah satu media penting dalam penyebarluasan radikalisme dan terorisme.
“Selain menjadi kekuatan, internet juga menjadi ancaman dalam penyebaran hoaks, radikalisme, penipuan, pornografi, bullying, prostitusi, SARA, ujaran kebencian, narkoba, dan masih banyak lagi ancaman dari internet tersebut,” ujarnya.
Dari sisi radikalisme juga tidak bisa dilihat hanya dari penampilan semata. Data Kementerian Kominfo, selama tahun 2018, telah dilakukan pemblokiran konten yang mengandung radikalisme dan terorisme sebanyak 10.499 konten. Terdiri dari 7.160 konten di Facebook dan Instagram, 1.316 konten di Twitter, 677 konten di Youtube, 502 konten di Telegram, 502 konten di filesharing, dan 292 konten di situs website.