Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK), terus mematangkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya bidang lingkungan hidup dan kehutanan yang digagas Presiden Jokowi.
RUU ini merupakan salah satu visi Presiden untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui penyederhanaan regulasi dalam bentuk satu perizinan berusaha.
Aturan ini juga sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, khususnya untuk menarik investasi masuk di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bambang Hendroyono mengatakan, kehadiran Omnibus Law ini menjadi langkah maju pemerintah untuk melakukan harmonisasi antara kepentingan rakyat dan pengusaha yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, melalui kemudahaan perizinan berusaha.
“Semangat Omnibus Law adalah penyederhanaan regulasi dalam bentuk satu perizinan berusaha. Tidak perlu lagi mengurus banyak izin untuk memulai suatu usaha. Reformasi birokrasi menuntut perlunya standar pengelolaan lingkungan per-kegiatan usaha, bukan berdasarkan pendekatan dokumen izin. Sehingga transparansi dan kepastian dalam perizinan berusaha, baik di pusat maupun daerah bisa diwujudkan,” kata Bambang, di Jakarta, kemarin.
Karenanya, kata Bambang, akan dibentuk satu Badan Pengendalian Standar, sehingga di daerah-daerah tidak lagi memiliki standar yang berbeda-beda.
“Perizinan berusaha bisa keluar dengan mengikuti standar tersebut. Hal ini sejalan dengan tujuan Omnibus Law untuk penyederhanaan birokrasi dan meningkatkan pengawasan tanpa mengorbankan lingkungan,” terangnya.
Bambang kembali mengatakan, bahwa semangat yang diusung Omnibus Law di bidang LHK adalah penyederhanaan regulasi berusaha tanpa mengabaikan prinsip lingkungan.
“Kita kedepankan pendekatan resiko. Setiap kegiatan dan usaha yang ingin mendapatkan perizinan lingkungan harus dilihat dulu potensi resikonya. Omnibus Law akan membagi resiko menjadi resiko tinggi, sedang dan rendah, atau resiko kecil,” kata Bambang.
,
Nantinya, lanjut Bambang, resiko tersebut akan dibuatkan standarnya. Seperti, pengaturan terkait dengan safeguard lingkungan, atau Amdal dan Izin Lingkungan pada Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU CK), pada dasarnya adalah menguatkan posisi Amdal dalam pengendalian lingkungan.
Bambang memastikan, tidak ada penghapusan Amdal sebagaimana isu yang berkembang. Justru Amdal diposisikan pada konsep yang seharusnya. Yaitu, sebagai bagian dari tahap feasibility study di tahap awal, atau hulu suatu rencana usaha dan atau kegiatan.
Nantinya, lanjut Bambang, akan ada tiga metode Risk Base Approach (RBA) pada RUU ini. Pertama, kegiatan dengan kategori resiko tinggi, tetap akan diwajibkan menyusun Amdal, yang selanjutnya menjadi persyaratan dan kewajiban pada perizinan berusaha
Kedua, kegiatan dengan resiko menengah, tetap menyusun Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), dengan pendekatan standar.
Di mana UKL-UPL menggunakan pendekatan standar yang pada dasarnya adalah tindak lanjut dari pengaturan pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Dalam UU itu disebutkan UKL-UPL adalah sebuah formulir, selanjutnya berdasarkan standar pengelolaan ini pelaku usaha dapat melaksanakan pengelolaan lingkungan.
Ketiga, kegiatan dengan resiko rendah, dipersyaratkan untuk melakukan pendaftaran atau registrasi yang pada dasarnya sama dengan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL), yang diterapkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP. 27 tahun 2012.
Dalam Omnibus Law, persetujuan dokumen Amdal dalam bentuk Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH) akan diintegrasikan ke perizinan berusaha.
Bambang menerangkan, pengintegrasian Izin Lingkungan ke dalam Perizinan Berusaha, dengan merumuskan konsep pengaturan bahwa pada 1 (satu) usaha dan/atau kegiatan hanya akan diterbitkan 1 (satu), izin saja, yaitu perizinan berusaha.
“Nanti, semua izin, termasuk izin lingkungan akan diintegrasikan ke dalam Perizinan Berusaha. Konsep ini pada dasarnya memposisikan persyaratan dan kewajiban dari aspek lingkungan menjadi lebih powerfull,” kata Bambang.
Sebelumnya, kata Bambang, izin lingkungan berdiri sendiri dan berada di luar izin usaha, maka dengan pengaturan ke depan, izin lingkungan akan berada di dalam (built in), perizinan berusaha sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri dan merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan.
Konsekuensi dari pengabaian terhadap persyaratan dan kewajiban aspek lingkungan oleh pelaku usaha akan dapat menyebabkan dicabutnya perizinan berusaha.
Dengan demikian secara konsep tidak benar anggapan izin lingkungan dihilangkan karena justru sebaliknya diposisikan menjadi lebih powerfull.
Hasil dari proses Amdal berupa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKL) yang pada dasarnya merupakan persetujuan lingkungan menjadi persyaratan perizinan berusaha.
Selanjutnya, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan (RKL-RPL) yang juga merupakan hasil dari proses Amdal, masuk menjadi kewajiban dalam perizinan berusaha.
Untuk memastikan integrasi Amdal dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) dalam Perizinan Berusaha, KLHK akan menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP).
Bambang mengatakan, Amdal tetap diposisikan sebagai persyaratan diterbitkannya perizinan berusaha dan menjadi kewajiban di dalam perizinan berusaha yang harus dilaksanakan pada saat implementasi kegiatan.
“Standar ini akan berlaku sama di semua daerah, sehingga menutup peluang adanya cawe cawe. Perlindungan lingkungan melalui Omnibus Law lebih kuat,” ujarnya
Selain itu, lanjut Bambang, KLHK juga akan melakukan penataan ulang pelibatan masyarakat. Keterlibatan masyarakat akan dibuat lebih terfokus, penataan ulang terkait pelibatan masyarakat dalam proses Amdal akan diatur lebih lanjut untuk memastikan efektifitasnya.
Hal ini diharapkan dapat menjamin konsen dan kepentingan masyarakat terkena dampak langsung dapat lebih diperhatikan, dan dapat lebih terakomodir
Penyusunan standar merupakan salah satu pendekatan penyederhanaan perizinan pada RUU CK, yaitu shifting sebagian beban dari pihak pemrakarsa atau pelaku usaha kepada pemerintah dalam proses perizinan berusaha dan atau kegiatan.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk shifting sebagai beban tersebut, adalah dengan menyediakan standarisasi dalam penyusunan Amdal khususnya, pada tahapan Kerangka Acuan (KA) dengan menyediaan Formulir KA yang spesifik untuk setiap jenis kegiatan.
Dengan tersedianya Formulir KA, maka penyusunan Amdal dapat lebih fokus dan mendalam pada kajian prakiraan dan evaluasi dampaknya.
Pemerintah juga merumuskan standarisasi formulir UKL-UPL yang spesifik untuk setiap kegiatan.Di mana dengan standar tersebut, nantinya pemrakarsa atau pelaku usaha dapat menggunakannya untuk pemenuhan persyaratan dokumen lingkungan skala UKL-UPL.
Penerapan standar ini adalah untuk menyeragamkan proses serta muatan dokumen lingkungan baik yang diproses di tingkat pusat maupun di daerah
Bambang mengatakan, penerapan standar nantinya harus tetap mempertimbangkan aspek karakteristik spesifik lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan sehingga penerapan standar harus disertai dengan informasi di tingkat landscape.
Informasi di tingkat landscape ini dilakukan dengan mendayagunakan instrumen Ecoregion, Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH), Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan Tata Ruang.
“Dengan demikian shifting beban yang dimaksud diatas dilakukan melalui penyediaan informasi di tingkat landscape dan standar di tingkat tapak yang menjadi tugas dari pemerintah, sehingga kajian dampak yang merupakan safeguard yang akan memberikan kemudahan bagi pemrakarsa atau pelaku usaha, tanpa harus menurunkan tingkat perlindungan terhadap lingkungan hidup,” tegasnya.
Reformasi Birokrasi
Lebih lanjut Bambang mengatakan, kehadiran Omnibus Law merupakan bagian dari reformasi birokrasi.Tujuannya, untuk membangkitkan perekonomian nasional menuju Indonesia Maju di tahun 2045.
“Penyederhanaan prosedur, atau birokrasi perizinan lingkungan akan menciptakan transparansi dan kepastian dalam perizinan berusaha, baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga ekonomi bisa bergairah,” jelasnya.
Bambang memastikan, Omnibus Law berpihak pada rakyat untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. RUU Cipta Kerja LHK ini, kata Bambang, merupakan salah satu bentuk kehadiran negara untuk menyederhanakan regulasi agar rakyat sekitar hutan bisa lebih sejahtera, sekaligus memberikan kepastian penegakan hukum lingkungan tetap berada pada koridor yang tepat.
“Tidak hanya swasta yang mendapatkan usaha. Rakyat juga diberi hak untuk mengelola hutan sosial. Sampai saat ini, sudah ada 4 juta Ha yang sudah di kelola masyarakat dari target 12,7 juta Ha,” ungkap Bambang.
Ekonomi Kreatif
KLHK juga mencatat, saat ini ada 25.000 desa di seluruh Indonesia, yang masyarakatnya bergantung hidupnya di kawasan hutan.
Karena itu, masyarakat harus diberi kepastian hukum dan berusaha, sehingga ekonomi kreatif bisa bergerak mensejahterakan rakyat.
Sehingga hutan tetap lestari karena ada kendali kepastian penegakan hukum lingkungan hidup.
Pasalnya, selama ini, kasus hukum hanya menyasar petani kecil. Banyak usaha masyarakat di sekitar hutan tidak dapat dijalankan karena takut dihukum.
“Disinilah Omnibus Law hadir untuk memberikan keadilan bagi rakyat dalam berusaha di kawasan hutan. Dan kasus di Taman Nasional Tesso Nilo bisa diselesaikan dengan RUU ini,” tegasnya.
Bambang juga menjelaskan, latar belakang dibuatnya Omnibus Law Cipta Kerja karena selama ini terjadi tumpang tindih aturan yang berdampak pada melambatnya laju investasi.
Totalnya, ada 43.604 peraturan, mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Regulasi ini dinilai menghambat investasi.Belum lagi, peringkat daya saing dan kemudahan berusaha juga masih tertinggal dari negara tetangga di ASEAN.
“Goal yang ingin kita capai adalah hadirnya investasi berkualitas , terciptanya lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja berkelanjutan dan pemberdayaan UMKM serta koperasi.
Nantinya, Indonesia bisa mampu keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan PDB mencapai 7,4 triliun dolar AS,” tegas Bambang.