Setelah Mahkamah Agung (MA) RI membatalkan kenaikan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, pemda bisa menghemat dana miliaran rupiah per bulan. Beban warga membayar iuran BPJS juga lebih ringan.
Per 1 Januari lalu, beban yang ditanggung warga untuk membayar iuran BPJS lebih berat dari sebelumnya. Sebab, pemerintah pusat menaikkan premi BPJS di semua kelas. Kelas III misalnya, sebelumnya Rp 25 ribu naik menjadi Rp 42 ribu per bulan, kelas II dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu, dan kelas I dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu. Kenaikan tarif tersebut diatur dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres itulah yang dibatalkan oleh MA karena dianggap bertentangan dengan UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Saat pemerintah pusat menaikkan tarif BPJS, pemda menambah alokasi anggaran untuk menanggung warganya yang belum terdaftar di BPJS. Di Kabupaten Malang misalnya, ada 121 ribu orang yang premi BPJS-nya di-cover pemkab.
Pemkab Khawatir BPJS Lambat Bayar Klaim RS
Dengan premi Rp 42 ribu per bulan, praktis pemkab harus membayar iuran Rp 5 miliar lebih tiap bulan. Kini setelah tarifnya dikembalikan seperti semula, yakni Rp 25 ribu, beban pemkab berkurang menjadi Rp 3,08 miliar per bulan. Dengan demikian pemerintah bisa menghemat hingga Rp 2 miliar per bulan.
”Saya mendukung, seharusnya BPJS bisa menghitung kembali apa yang harus mereka putuskan. Dengan kenaikan premi (BPJS) itu bukan mengakibatkan pendapatan BPJS yang berasal dari premi menjadi tinggi, tapi tetap,” ujar Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Malang dr Arbani Mukti Wibowo kemarin.
Mantan direktur utama RSUD Lawang itu menuturkan, kenaikan iuran BPJS membuat masyarakat berbondong-bondong turun kelas. ”Yang tadinya ikut kelas I, akhirnya turun ke kelas III. Dan yang kelas III pun akhirnya memilih tidak ikut BPJS karena tidak kuat membayar (premi),” beber dia.
Setelah premi diturunkan, Arbani mendorong agar seluruh fasilitas kesehatan (faskes) yang ada di kabupaten dapat terus meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Meskipun masih ada kekhawatiran lain yang menjadi keresahan pemerintah.
”Yang kami takutkan, klaim BPJS atau pembayaran kepada faskes yang telah bekerja sama akan terlambat,” tambahnya.
Program supply chain financing (SCF) atau pinjaman dengan bunga lunak, diharapkan Arbani dapat menjadi solusi agar tidak ada keterlambatan pembayaran klaim BPJS kepada faskes.
Sebagai catatan, di Kabupaten Malang saat ini terdapat 39 layanan tingkat primer atau puskesmas, 64 klinik rawat inap dan jalan, 2 rumah sakit umum daerah, dan 30-an rumah sakit swasta. ”Yang kami harapkan jangan lagi membedakan antara pasien BPJS dan yang bukan BPJS,” tukasnya.
Dua Bulan, Pemkot Hitung Selisih Pembayaran Rp 986 Juta
Sementara di Kota Malang, ada sekitar 58 ribu warga miskin yang preminya di-cover oleh pemkot. Masing-masing warga sudah dijatah sesuai tarif baru setelah naik, yakni Rp 42 ribu per bulan setiap orang.
”Dengan adanya pembatalan kenaikan iuran, setidaknya ada selisih Rp 986 juta dana pemkot yang bisa dihemat dalam dua bulan ini (Januari–Februari),” kata Kabid Layanan Kesehatan (Yankes) Dinkes Kota Malang drg Betty Rosmawati.
Betty tidak tahu apakah selisih itu perlu dikembalikan ke pemkot atau tidak. ”Biasanya kalau ada selisih biaya, BPJS Kesehatan menyampaikan ke kami,” terang dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Batu drg Kartika Trisulandari mengatakan, pihaknya belum mengetahui adanya pembatalan kenaikan iuran BPJS. ”Secara resmi kami belum dapat laporan dan masih menunggu aturan yang jelas, lalu disesuaikan kembali,” ungkapnya.
Kartika menegaskan, pihaknya akan bersikap setelah mendapat pemberitahuan resmi dari pemerintah pusat. ”Kalau pengaruhnya ke dinkes, jelas akan menghitung kembali kebutuhan anggaran untuk membayar premi BPJS untuk masyarakat. Kalau anggaran kami lebih, bisa dipakai untuk menambah kuota atau dialihkan untuk kegiatan yang belum terpenuhi,” katanya.
Terpisah, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Malang Dina Diana Permata enggan berkomentar terkait pembatalan kenaikan premi. Dia meminta wartawan koran ini langsung mengutip keterangan resmi dari BPJS pusat. ”Sementara saya belum bisa dimintai statemen ya. Statemen kami sesuai rilis dari pusat,” kata Dina saat dikonfirmasi kemarin.
Terpisah, pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB) Dr Prija Djatmika SH MSi mengatakan, putusan MA itu bisa langsung dilaksanakan, tanpa menunggu sosialisasi dari pemerintah pusat. ”Langsung berlaku. Pembayaran mengacu tarif lama saja,” katanya.
Dosen ilmu hukum itu memaparkan, ada dua jenis keputusan pengadilan. Yakni, putusan eksekutorial dan putusan declaratoir. Untuk putusan eksekutorial, pelaksanaan hukuman perlu menunggu putusan eksekusi dari aparat penegak hukum. Sedangkan putusan declaratoir, keputusan pengadilan bisa langsung dijalankan tanpa menunggu permohonan eksekusi. ”Pembatalan kenaikan tarif BPJS ini declaratoir,” kata dia.
Karena perpres yang mengatur kenaikan tarif dibatalkan, maka warga yang sudah membayar sesuai tarif baru per 1 Januari lalu, berhak meminta uangnya dikembalikan oleh BPJS. ”Konsekuensi hukumnya begitu, (uang selisih pembayaran) dikembalikan. Atau dimasukkan ke pembayaran premi bulan berikutnya,” kata Prija.