Utang negara dianggap momok menakutkan karena pihak yang menjadi debitur bisa memiliki rasa ketergantungan politik tinggi kepada sang peminjam. Namun, pemerintah berkali-kali menjamin pengelolaan utang dan pembiayaan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan produktif bukan konsumtif.
Selain itu, utang dibutuhkan untuk menutup defisit anggaran, mengingat sumber pendapatan negara dari sektor pajak tidak sepenuhnya mencukupi untuk membiayai program pemerintah.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tidak ugal-ugalan dalam mengelola utang, termasuk untuk pembiayaan program penanganan Covid-19.
“Jadi dalam mengelola keuangan negara, kita tidak hanya melihat satu rumus, satu kebutuhan dan tujuan. Selalu saya tekankan, fiskal itu instrumen, dia bukan tujuan tapi tidak berarti kita ugal-ugalan,” ujarnya, Sabtu (23/5/2020).
Sri Mulyani menjelaskan, pembiayaan tersebut dibutuhkan karena dalam situasi ekonomi saat ini kebutuhan belanja yang dibutuhkan sangat besar, padahal penerimaan negara merosot.
Begitu juga ketika belum ada wabah Covid-19, lanjut dia, belanja pemerintah dan tambahan utang digunakan salah satunya untuk peningkatan infrastruktur dan menurunkan tingkat kemiskinan.
Terkait dengan hasil analisis BPK, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menghormati hal itu sebagai pengingat untuk tetap berhati-hati dalam mengelola utang.
“Jadi kita hormati saja, analisa itu baik bagi kita, mengingatkan kita supaya terus hati-hati,” ujar Sri Mulyani.
Melebarnya defisit anggaran dari semula 5,07 persen atau Rp852,9 triliun menjadi Rp1.028,5 triliun atau 6,27 persen, maka pembiayaan dari Surat Berharga Negara (SBN) juga makin meningkat.
Untuk bisa mendanai defisit tersebut maka direncanakan pembiayaan dan pengadaan surat berharga, yang sudah diatur dalam Perppu dan SKB antara Kemenkeu dan Bank Indonesia.
Sri Mulyani memastikan pelebaran defisit fiskal yang kembali dilakukan itu untuk mendukung implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional, mengingat pendapatan negara turun.
Dalam outlook APBN 2020, Menkeu menyebutkan pendapatan negara diperkirakan berkurang Rp69,3 triliun, dari Rp1.760,9 dalam Perpres 54 tahun 2020 menjadi Rp1.691,6 triliun.
“Karena begitu banyak insentif pajak yang diberikan dari pelemahan ekonomi di semua sektor,” katanya.
Sedangkan pemerintah menambah belanja negara mencapai Rp106,3 triliun, yakni tambahan subsidi untuk UMKM Rp34,2 triliun dan diskon listrik diperpanjang menjadi enam bulan Rp3,5 triliun.
Kemudian bansos tunai diperpanjang hingga Desember 2020 dengan bantuan menjadi Rp300 ribu per bulan, sehingga total sebesar Rp19,62 triliun dan cadangan stimulus Rp60 triliun.
Sementara itu, realisasi penerbitan SBN secara neto hingga akhir April 2020 telah mencapai Rp376,5 triliun yang mencakup penjualan dari Global Bonds senilai 4,3 miliar dolar AS.
Atas realisasi tersebut, maka pemerintah berupaya memenuhi target pembiayaan melalui lelang di pasar domestik, penerbitan SBN ritel, private placement, dan penerbitan SBN valas.
Jika penghitungan awal belum berubah, maka lelang SBN rutin per dua minggu periode triwulan II hingga triwulan IV-2020 diproyeksikan mencapai Rp35 triliun-Rp45 triliun.