Literasi merupakan kemampuan yang penting dimiliki seorang anak untuk bisa belajar dan mengakses berbagai informasi. Namun, di Papua, hingga kini kemampuan literasi di kalangan anak-anak masih jauh tertinggal dibandingkan teman-teman sebaya mereka lainnya di Tanah Air. Bahkan, aktivitas literasi di Papua paling rendah dari seluruh provinsi di Indonesia.
Hasil survei literasi yang dilakukan Wahana Visi Indonesia (WVI) di akhir tahun 2022 di Papua, khususnya di Kabupaten Sentani, Biak, Pegunungan Tengah, dan Asmat, menunjukkan rata-rata hanya 36,1 persen anak kelas 3 sekolah dasar (SD) di wilayah tersebut yang memiliki keterampilan membaca dengan pemahaman.
Di empat kabupaten yang merupakan area pendampingan WVI, tingkat kemampuan literasinya berbeda-beda. Dari survei, anak-anak di Asmat yang kemampuan literasinya paling rendah, hanya 26,5 persen. Guru di Asmat yang melakukan kegiatan literasi dasar di sekolah pun kurang dari 10 persen.
”Guru jarang membacakan buku cerita di kelas, jarang bertanya pada anak apa yang sedang mereka baca, dan jarang mengajarkan kosakata baru. Anak-anak kelas III SD di Asmat hanya bisa membaca lima kata dengan benar dalam waktu satu menit, sedangkan standarnya murid kelas III SD bisa membaca sampai 80 kata per menitnya,” ungkap Marthen S. Sambo, Education Team Leader WVI, saat berdialog dengan media, Selasa (11/7/2023).
Rendahnya kemampuan literasi anak-anak Papua dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Selain dalam budaya Papua, lebih didominasi oleh budaya tutur, kondisi tersebut juga karena dukungan guru yang menguasai literasi sangat minim. Bahkan, hingga kini masih ditemukan guru-guru di Papua yang tidak menguasai literasi.
Di Biak, misalnya. Marthen mencontohkan, kondisi saat ini banyak guru yang sudah berusia lanjut. Hal ini membuat mereka sulit mengikuti inovasi kegiatan belajar-mengajar yang dapat memicu keterampilan membaca dari muridnya.
Sementara itu, pengawasan sekolah pun tidak berjalan, karena semua pengawas di Biak sudah pensiun. Menurut data WVI, pada tahun 2022 hanya 40,9 persen anak kelas 3 SD di Biak yang terampil membaca dan memahami isi bacaannya.
Kondisi literasi di Papua beberapa tahun terakhir mulai meningkat seiring pendampingan yang dilakukan WVI dan sejumlah lembaga. Setidaknya terlihat dari data survei Kemampuan Membaca dengan Pemahaman siswa kelas 3 SD di wilayah dampingan WVI yang dilakukan WVI selama dua tahun terakhir.
Dari survei yang menggunakan instrument STAR (school-based test about reading) di Kabupaten Sentani, Biak, Pegunungan Tengah, dan Asmat terlihat ada peningkatan kemampuan membaca dengan pemahaman dari anak-anak di empat kabupaten tersebut.
Di Asmat, pada tahun 2021 pembaca pemulanya nol persen, anak yang membaca dengan pemahaman hanya 10,9 persen. Namun, pada survei tahun 2022, jumlah pembaca pemulanya sudah ada 10,2 persen, dan kemampuan membaca dengan pemahaman naik menjadi 26,5 persen.
Di Jayawijaya, pada 2021 pembaca pemulanya 5 persen, dan anak yang membaca dengan pemahaman hanya 34 persen. Namun, pada survei 2022, jumlah pembaca pemulanya menurun tinggal 4 persen, dan kemampuan membaca dengan pemahaman naik menjadi 52 persen.
Di Papua, selama beberapa tahun terakhir, literasi menjadi salah satu fokus isu yang dikerjakan WVI. Di empat kabupaten tersebut, mayoritas anak tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung.
”Hampir semua di wilayah dampingan kami masalahnya sama, yakni tidak merata secara kuantitas dan kualitas guru yang mengajar. Kami juga melihat keterampilan dasar yang harusnya diajarkan pada anak-anak, tidak semua diajarkan. Materi bacaan anak-anak masih kurang,” kata Marthen.
Dari survei tersebut, WVI yang merupakan lembaga yang berfokus pada isu anak, selain melakukan pendampingan di beberapa desa, juga menggelar ”Kampanye Baca Tanpa Batas” untuk menjawab permasalahan rendahnya literasi anak di Papua.
Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan literasi anak-anak di Papua melalui Kampung Literasi (KL) yang meliputi pembangunan tiga rumah baca, penyediaan lima motor pustaka, penyediaan materi kontekstual dan alat peraga, serta penguatan masyarakat dan pemerintah, termasuk melatih tutor.
Kampung Literasi merupakan intervensi kolaboratif dari WVI bersama para pemangku kepentingan di kampung, mulai dari anak, orang tua/pengasuh, perangkat kampung, hingga institusi keagamaan, masyarakat, dan pemerintah. Tujuannya untuk meningkatkan akses anak pada kegiatan-kegiatan literasi yang berkualitas di kampung di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).
Harapannya, kegiatan kampung literasi akan berdampak pada meningkatnya persentase anak usia SD, seperti di daerah Papua, yang mampu membaca dan memahami bacaannya.
”Sebenarnya anak-anak di Papua mempunyai potensi yang luar biasa. Mereka bersemangat belajar hal-hal yang baru. Namun, sayangnya masih ada banyak hal yang menjadi gap yang cukup besar antara tingkat literasi anak-anak di Papua dan anak-anak di daerah lain,” ujar Yuventa, Head of Public Engagement & Communications WVI.
Yuventa menegaskan, WVI sangat percaya literasi sangat penting bagi anak-anak Papua karena membuka potensi generasi muda di Papua sehingga bisa menggapai mimpi mereka. Karena itu, WVI mengajak masyarakat luas untuk mewujudkan ekosistem literasi yang baik bagi anak-anak di Papua.
”Kami mengerakkan hati semua orang untuk bersama-sama dalam Kampanye Baca Tanpa Batas sehingga kita bisa membantu anak-anak Papua punya literasi yang baik melalui kampung literasi. Kami percaya kita punya hati yang sama, dan lebih banyak lagi yang bergabung dalam kampanye ini,” ujar Yuventa.
Untuk memberikan semangat pada anak-anak di Papua dalam meningkatkan kemampuan menulis, membaca, dan berhitung dengan pemahaman, WVI mengajak sejumlah figur publik, seperti penyanyi Monita Tahalea, Gaby Cristy, Joanna Alexandra, Sidney Mohede, Becky Tumewu, Kezia Aletheia, dan Jovial Da Lopez, untuk bersama dalam Kampanye Baca Tanpa Batas di Papua.
Beberapa waktu lalu, Monita Tahalea, penyanyi, Hope Ambassador WVI, bersama Gaby Cristy, penyanyi, Duta Kampanye Baca Tanpa Batas, berkunjung ke Biak. Monita mengaku tersentuh menyaksikan langsung anak-anak di Papua yang masih menggunakan seragam SD, tetapi umurnya sudah dewasa.