Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI), Haris Pertama menyebutkan bahwa sertifikasi halal oleh MUI selama puluhan tahun diduga tanpa akuntabilitas, transparansi dan pertanggungjawaban publik.
Hal tersebut dikatakannya karena tidak ada laporan tentang biaya dan prosesnya serta hasilnya berapa jumlah yang sudah disertifikasi sementara kantor lembaga tersebut dibiayai oleh negara lewat Kementerian Agama.
“Monopoli MUI tentang sertifikasi halal berdasarkan UU 33 tahun 2014 seharusnya berakhir karena proses sertifikasi halal dialihkan atau diambil alih negara karena sifatnya yang Mandatory (wajib) sedangkan dulu sifatnya Volunteer (sukarela),” ujar Haris dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (8/8/2020).
Dikatakannya, menurut UU 33 tahun 2014 kewajiban halal diberlakukan untuk semua produk makanan dan minuman sejak 17 Oktober 2019, 5 tahun sejak ditetapkan UU jaminan produk halal.
Sejak itu harusnya negara mendapatkan pendapatan dari proses sertifikasi halal namun masih banyak kendala yang belum bisa diwujudkan karena menteri keuangan belum mengeluarkan tarif biaya sertifikasi halal.
“Nah, dalam prosesnya, sekarang UU tersebut sedang diproses dalam klaster UU Cipta Kerja (Omnibus Law Cipta Kerja). Sertifikasi halal diharapkan dengan Omnibus Law Cipta Kerja ini bahwa proses pelayanan produk halal menjadi lebih mudah, sederhana dan murah dengan melibatkan semua ormas Islam dan perguruan tinggi di Indonesia,” tuturnya.
Haris memperkirakan ada 70 jutaan pelaku usaha menengah ke bawah, makanan dan minuman, dan secara Nasional yang disampaikan oleh MUI dalam suratnya kepada DPR RI pertanggal 10 Juni 2020, kapasitas sertifikasi halal di MUI secara Nasional mencapai 102.744.000 pertahunnya.