Suara Yogyakarta – Pemerintah Daerah DI Yogyakarta mengkaji wacana pembentukan tempat pendidikan khusus anak nakal untuk mengatasi maraknya klitih atau kejahatan jalanan. Hal itu muncul karena masalah klitih membutuhkan solusi komprehensif, lebih dari sekadar penegakan hukum.
Beberapa hari terakhir, fenomena klitih di DIY mendapat sorotan masyarakat. Sejak Selasa (28/12/2021), warganet ramai-ramai memopulerkan tagar #YogyaTidakAman dan #SriSultanDaruratKlithih di Twitter untuk menyuarakan keresahannya. Tagar-tagar itu muncul setelah beberapa kasus klitih viral di media sosial selama beberapa hari terakhir.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan masih mempertimbangkan kemungkinan membentuk tempat pendidikan anak nakal itu. Oleh karena itu, Sultan belum bisa memastikan apakah tempat pendidikan anak nakal bakal dihidupkan lagi atau tidak. Pemda DIY masih harus melakukan kajian terkait masalah tersebut.
”Nanti kita bicara lebih jauh. Yang penting, (pelaku klitih) kan sudah ditangkap, ya sudah berproses saja dulu,” ujar Sultan HB X saat ditemui di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta, Kamis (30/12/2021).
Sebelumnya, Sultan menuturkan, ada tempat pendidikan khusus untuk anak nakal di DIY pada masa lalu. Tempat pendidikan itu berlokasi di dekat Alun-alun Selatan Kota Yogyakarta serta dekat obyek wisata Tlogo Putri Kaliurang, Kabupaten Sleman.
”Dulu waktu saya kecil, di Alun-alun Kidul dan di Tlogo Putri itu ada tempat pendidikan anak nakal. Jadi, kalau orangtuanya kewalahan, (anaknya) diserahkan untuk dibina dan dididik. Namanya Prayuwana,” ungkap Sultan, Rabu (29/12/2021).
Selain itu, Sultan mengatakan, Pemda DIY juga pernah mengkaji kemungkinan pembinaan anak pelaku klitih dan keluarganya melalui lembaga konsultan. Pembinaan itu dilakukan agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya.
”Kita, kan, harus bicara dengan orangtua (pelaku klitih), bicara dengan saudaranya kalau dia punya kakak dan adik. Jadi, semua itu harus kita kumpulkan, kita beri pemahaman untuk dialog. Ya, memang tidak mudah,” ujar Sultan yang juga Raja Keraton Yogyakarta.
Berdasarkan pembicaraan dengan lembaga konsultan itu, biaya pembinaan mencapai Rp 3 juta-Rp 4 juta untuk setiap keluarga pelaku klitih. Namun, tidak ada penjelasan mengenai biaya itu untuk kebutuhan apa saja.
Sultan menilai biaya tersebut masih terlalu mahal. Apalagi, jumlah anak yang terlibat klitih di DIY relatif banyak. Oleh karena itu, Pemda DIY masih berupaya mencari cara lain.
”Kalau 10 orang klitih, berarti 10 keluarga. Biayanya waktu itu minta Rp 3 juta-Rp 4 juta untuk menangani satu keluarga. Bagi saya, itu masih terlalu mahal. Kita perlu cari yang lain yang lebih memungkinkan,” papar Sultan.
Sultan juga menyebut, pelaku klitih tetap harus ditangkap dan diproses secara hukum. Penegakan hukum penting untuk memberi rasa aman kepada masyarakat dan tidak mengganggu sektor pariwisata di DIY.
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, wacana pembentukan tempat pendidikan bagi anak nakal masih perlu dikaji. Kajian dibutuhkan untuk memastikan apakah tempat pendidikan semacam itu masih relevan dengan kondisi sekarang atau tidak. Sebab, kondisi kenakalan remaja saat ini tentu berbeda dengan situasi masa lalu.
”Ngarsa Dalem (Sultan HB X) ngendika (mengatakan) perlu dikaji dulu. Sekarang masih update (sesuai) enggak. Kalau masih update, bisa saja itu kita lakukan. Kalau hasil kajian menyebut itu tidak sesuai dengan kondisi sekarang, perlu dicari jalan keluar yang lain,” ujar Kadarmanta.
Wakil Kepala Polda DIY Brigadir Jenderal (Pol) Slamet Santoso mengatakan, untuk mencegah terus berulangnya klitih, pihaknya akan menggelar patroli skala besar di tingkat polda, polres, dan polsek. Penegakan hukum akan terus dilakukan.
”Terhadap pelaku-pelaku akan kami maksimalkan sebagai efek jera kepada mereka,” ujarnya.
Akan tetapi, koordinasi dengan beragam pihak tetap dilakukan. ”Klitih ini harus kita selesaikan komprehensif, tidak bisa hanya penegakan hukum,” kata Slamet.