Suarayogyakarta.com – Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Prof. Dr. Muhammad Firdaus, S.P., M.S,i memandang perlu adanya omnibus law untuk perlindungan UMKM. Pasalnya, selama ini dia memandang isu mengenai UMKM hanya digelontorkan menjelang pilpres. Artinya, ini merupakan komitmen pemerintah untuk membuat UMKM menjadi naik kelas.
Hal itu disampaikan Firdaus dalam diskusi seri ketiga RUU Omnibus Law yang digelar Himpuni (Perhimpunan Alumni Perguruan Tinggi Negeri Indonesia) di Ruang Rapat Lantai 5 Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2020).
“Melihat orientasi pemerintah, pemberdayaan UMKM ini penting. Nyatanya UMKM itu sejak krisis moneter itu bisa bertahan dengan baik daripada yang skala besar,” ujarnya.
Menurutnya, UMKM merupakan solusi untuk menghadapi bonus demografi di masa depan. Yang perlu dikawal, kata dia, adalah kemampuan UMKM untuk memanfaatkan payung hukum ini.
Sayangnya, setelah menelaah beberapa pasal, dia tidak menemukan keterlibatan perguruan tinggi dalam RUU Omnibus Law di bidang UMKM ini. Padahal, kebijakan Menteri Pendidikan yang baru mensyaratkan adanya pemagangan pada sebagian semester kuliah. “Kalau mengandalkan usaha besar, tidak cukup. Kami berharap mahasiswa-mahasiswa kami bisa kami cemplungkan di UMKM untuk kuliah praktik. Supaya bisa mengakomodasi tujuan kampus merdeka,” ujarnya.
Perlunya Omnibus Law untuk UMKM juga diamini Dr. Handito Joewono selaku Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kadin. Sebagai pihak yang terlibat dalam perumusan, dia menepis anggapan bahwa RUU yang tengah dirancang merupakan titipan dari oknum pengusaha.
“Minimal kita tanya ke pelaku usaha, yang menghambat itu apa, lalu kita kasih ke pemerintah dan diolah di DPR. RUU ini dalam rangka mempermudah berusaha. Peraturan-peraturan yang susah dibuang, arahnya ke sana,” ujar Dr Handito.
Dia bercerita, banyak peraturan yang memang menghambat, khususnya untuk para pelaku UMKM. Beberapa waktu lalu, ada kasus produk UMKM di salah satu daerah yang nyaris gagal ekspor. Sebab tidak mengantongi surat izin sebagaimana persyaratan undang-undang yang berlaku.
“Ada salah satu produk kopi dalam kumpulan produk satu kontainer. Kopi senilai 5 jutaan itu musti mengantongi ijin dari Kementerian Pertanian. Lalu ada produk lagi kerajinan yang musti dapat ijin dari kementerian terkait. Begitu masuk Omnibus Law, aturan ini kami hapus. Ini untuk mendorong UMKM supaya mampu bersaing,” paparnya.
Pendapat lain datang dari Dr. Dewi Motik Pramono, M.Si, selaku pengusaha, penulis, pengajar, dosen dan motivator. Menurutnya, dalam ikhtiar untuk memajukan UMKM, yang diperlukan hanyalah kemudahan, pemberdayaan dan kesempatan. Dia juga menyoroti mahalnya bunga pinjaman dari bank. Bagi Dr. Motik, bunga senilai 0,5 dirasa berat. Belum lagi pajak yang musti ditanggung pelaku UMKM.
“Karena untuk pengusaha kecil asal bisa dagang bisa makan, kalau terikat pajak-pajak jadi berat. Maka berilah kesempatan. Misalkan ada pameran, harganya jangan mahal-mahal,” tandasnya.
Dr. Motik menyarankan agar bank UMKM tidak hanya menjadi simbol, namun proaktif melihat perkembangan di lapangan.