Sejumlah masalah masih menjadi topik pembicaraan bagi sejumlah kalangan, terkait masa depan Papua. Terutama sejak diberlalukannya otonomi khusus (Otsus), yang ditujukan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Deputi Kominfo BIN (Badan Intelijen Negara) Dr. Wawan Hari Purwanto, mengatakan saat ini pemerintah sedang melakukan percepatan-percepatan segala bidang, sekolah, fasilitas, energi, air bersih, kebutuhan pabrik, perbatasan Papua. Hal tersebut secara prinsip mempercepat penyetaraan Papua dengan provinsi lainnya. ”Terlebih saat ini jelang PON Papua, kita juga bangun fasilitas olahraga dengan standar dunia. Kita kerjakan secara holistik demi mewujdukan keadilan sosial,” ujarnya dalam acara dialog bertema ”Menakar Masa Depan Papua” melalui saluran video interaktif Zoom Meeting, beberapa hari lalu. Menurutnya kreatifitas di Papua diberdayakan sebagai kawasan ekonomi khusus yang terkenal di dunia. ”Kita dorong agar tumbuh cepat, termasuk penguatan distrik-distrik. Pendekatan ekologis, SDM digenjot habis, sebagaimana Reno Mayor penerima Bidik Misi sejak SMA.
Evaluasi Otsus terus dilakukan dengan melibatkan OAP. Jika ada yang merasa masih belum tersentuh, mohon dimaklumi karena begitu luasnya wilayah Papua,” tegasnya.
Dialog tersebut menampilkan narasumber, Reno Mayor (Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua UI 2019), Boy Markus Dawir (Tokoh Pemuda Papua), Prof. Dr. Imron Cotan (Duta Besar RI), Michael Manufandu (Senior Pamong Papua) dan Dr. Wawan Hari Purwanto (Deputi Kominfo BIN) dan peserta webinar 100 pengguna.
Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua UI 2019 Reno Mayor, mengapresiasi kebijakan Otsus Papua. ”Namun, kenapa masyarakat Papua masih hidup tidak sejahtera di atas kekayaan alamnya? Karena saya pikir penerapan masih kurang tepat sasaran, sehingga sebagian masyarakat dimanja dengan dana Otsus sebagian lagi tidak atau belum tersentuh. Sedangkan, mentalitas berjuang, kesadaran untuk bersaing, dan kualitas SDM (sumber daya manusia) belum merata,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah harus mengajarkan kepercayaan diri dan kesiapan bersaing bagi masyarakat Papua. Karena hal tersebut tidak diajarkan di bangku sekolah, maka sebaiknya ajarkan melalui sekolah di Papua. ”Berikan akses pendidikan yang sesuai bagi situasi wilayah kami. Lalu, lakukan pemerataan dan tepatkan sasaran dalam penyerapan dana Otsus,” cetusnya.
Sementara itu Akademisi Universitas Indonesia Dr. Chusnul Mariyah, mengatakan dalam eksploitasi SDA (sumber daya alam) misalnya, Indonesia punya UU untuk pengelolaannya yang mengatur 10 persen milik daerah. ”Sayangnya, selalu diperjualbelikan. Tolong kunci pasal tersebut agar 10 persen tidak diperjualbelikan, dan tunainya didapatkan dari dividen. Dalam memperkuat daerah Papua, pendekatan legal memang mudah namun tidak kontekstual,” ujarnya.
Dikatakan, saat ini Papua dibelenggu tiga oligarki: politik, ekonomi, sosial. Menurutnya, jangan jadikan Papua sebagai ladang project oriented oleh oknum politik. ”Truth and reconciliation harus dilakukan, dan ikhtiar melalui interfaith dialogue. Perbedaan pendang tentu boleh, namun jika ada self determination yang merusak kedaulatan tentu juga ada aturan hukumnya,” ungkapnya.
Tokoh Pemuda Papua Boy Markus Dawir, mengatakan cara pandang para pemuda Papua saat ini terbagi menjadi dua. Yakni pemuda yang mendukung NKRI dan yang bersebarangan dengan NKRI. ”Rata-rata, teman-teman berseberangan ini merasakan tidak hadirnya negara dalam masyarakat Papua, terutama minimnya kesempatan pemuda Papua menjadi ASN, TNI, atau POLRI dan bagian lainnya sehingga bergabung dengan kelompok separatis,” ungkapnya.
Dikatakan, tergantung keseriusan negara apakah mau menginventarisasi permasalahan besar hingga permasalahan kecil. Seperti kasus HAM yang tidak kunjung selesai hingga kini. Hal seperti ini bisa menjadi bom waktu. Lakukan cara yang baik, bermartabat, toh kami sudah sampaikan rekomendasi kepada negara dan semoga ditindaklanjuti sesuai aturan hukum.
Duta Besar RI Prof. Dr. Imron Cotan, mengatakan di era padat teknologi dan media kini, semua berusaha memonopoli kebenaran. ”Dari perspektif hukum dan sejarah, harus kita akui bahwa ada kesalahpahaman isu Papua di Indonesia. Pertama, Papua dianggap sebagai entitas politik tersendiri, bahwa Indonesia mengintegrasi Papua,” ujarnya.
Mengenai tuduhan rasisme, diskriminasi, seperti yang disuarakan kelompok separatisme, hal tersebut adalah salah tuduh. Tidak sepenuhnya hal itu terjadi. ”Ya, memang ada beberapa oknum, namun mayoritas merasakan good under NKRI. Asumsi-asumsi separatisme itu hanyalah dibangun oleh ilusi. Saat ini pun, sejak adanya UU 21/2001 Otsus (Otonomi Khusus) Papua, seluruh jabatan publik di provinsi Papua telah diduduki oleh OAP (Orang Asli Papua). Mari kita duduk bersama membicarakan permasalahan Papua tanpa membahas status politik Papua,” ujarnya.
Senior Pamong Papua Michael Manufandu, mengatakan sejak 2012-2013 Presiden SBY telah menyiapkan 1.000 putra daerah untuk belajar di universitas agar lebih konstuktif. ”To be the leader of tomorrow,” ungkapnya. Menurutnya, Otsus membangun wilayah-wilayah yang terisolasi karena keadaan geografis, sehingga terjadi interaksi penduduk, atau pembauran serta menghadirkan pemerintah di sana.
”Pemerintah juga telah melimpahkan wewenang, menyerahkan anggaran untuk memampukan rakyat, sehingga Pemda memiliki kewenangan untuk mengatur rakyatnya. Infrastruktur sekarang juga sudah jauh lebih baik sejak pembangunan oleh Bapak Jokowi,” ungkapnya.