Kerusuhan di Papua disebut akibat dari matinya jaringan telekomunikasi, membuktikan betapa dianggap mendasarnya kebutuhan berkomunikasi di setiap tempat di negara ini.
Namun yang membuat kita miris, ternyata hal itu disebabkan oleh sabotase, yakni diputus dengan sengaja kabel optik milik salah satu provider telekomunikasi.
Tentu saja kita menduga kuat peristiwa sabotase ini semakin menguatkan indikasi adanya pihak tertentu memperkeruh suasana tak menguntungkan di wilayah paling timur Indonesia itu.
Sabotase Kabel Optik di Papua Sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Deiyai Papua, unjuk rasa di Jayapura bisa saja berkembang tak terkendali, terutama disebabkan adanya kesan kegamangan dalam menghadapi para pengunjuk rasa.
Kita menduga Polri cukup ekstra hati-hati dan bahkan cenderung kurang mengantisipasi situasi, lebih-lebih tradisi kekerasan bagi masyarakat Papua cukup mudah dipicu oleh hal-hal yang sebenarnya sederhana. Kita yakini pula kemarahan masyarakat yang turun ke jalan tidak lepas dari upaya provokasi oleh beberapa oknum.
Bagi pemegang otoritas di Papua terasa dilematis, di satu sisi jaringan telekomunikasi sangat diperlukan oleh banyak bagian masyarakat dan bahkan para pelaku ekonomi. Terganggunya komunikasi yang semula merupakan upaya meredam beredarnya informasi liar, tak ayal berdampak sangat massif. Dengan adanya langkah ini pula, dalam tahap tertentu justru memicu kemarahan massa yang lebih meluas.
Sebenarnya otoritas Pemerintah daerah, jika mengambil peran lebih proaktif, lebih berpotensi mampu meredam berbagai unjuk rasa, pertama karena pemerintah daerah memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat setempat, di samping itu, persoalan yang berkembang pun niscaya lebih cepat dilokalisir.
Namun cukup disesalkan jika banyak peristiwa unjuk rasa, kini telah meluas ke beberapa kota yang tersebar. Dan tampaknya akan dijadikan propaganda bagi keuntungan pengusung separatisme. Buktinya, mereka sengaja mengibarkan bendera Organisasi Papua Merdeka, yang mana mengindikasikan ada unsur separatis yang sangat kental dalam beberapa unjuk rasa tersebut Kegamangan yang kita saksikan dari pihak keamanan, bisa jadi akan menambah keberanian mereka untuk mengeskalasi kerusuhan. Secara psikologis, massa yang terkonsentrasi sangat mudah diintimidasi. Maka pihak keamanan pun perlu memisahkan antara massa yang murni berdemo, dengan mereka yang menunjukkan tanda-tanda perusuh.
Dilibatkannya senjata tradisional berupa panah beracun, seperti ditemukan dalam bentrok antara perusuh dengan aparat di Deiyai, harus disikapi dengan kewaspadaan tinggi. Sebagaimana ditengarai oleh Presiden, berbagai kejadian di Papua sebagai dampak kemarahan atas pengepungan di Surabaya, telah dimanfaatkan oleh penumpang gelap.
Penumpang gelap yang dimaksud Presiden, tampaknya tak terlepas dengan beberapa peristiwa baik fisik maupun politik sebelumnya. Seperti kita cermati dari manuver negara-negara kecil di kawasan Oceania, seperti Vanuatu, Solomon Island, Marshal Island, Tonga, Nauru dan Tuvalu, yang bahkan asing di telinga kita, menyampaikan orasi di depan sidang umum PBB di New York, beberapa bulan lalu.
Tiba-tiba saja mereka melakukan apa yang mereka sebut solidaritas untuk rakyat Papua. Yang perlu dicermati, negara tetangga kita yang terdekat bahkan tidak turut dalam aksi solidaritas itu. Apa pasalnya ? Hal itulah yang patut diperhatikan secara cermat.
Negara-negara kecil yang terkesan mengeroyok Indonesia itu tampaknya membawa misi tertentu, dan di belakangnya ada kekuatan sangat besar. Bisa jadi kekuatan besar itu terlalu sungkan untuk berhadapan langsung dengan Indonesia. Cara satu-satunya adalah menggunakan tangan lain yang jauh hubungannya baik dengan Indonesia maupun dengannya.
Posisi yang tidak memiliki kedekatan dengan kekuatan besar di belakang negara-negara kecil itu, tentu bukan tanpa maksud. Beda kasusnya jika Papua New Guinea yang ikut dilibatkan, niscaya cukup mudah mencari siapa yang bermain sebagai sponsornya.
Kekuatan besar itu tidak mustahil sedang mengincar kekayaan yang sangat besar, yang dimiliki kawasan timur kita, dan Papua merupakan wilayah incaran terbesarnya. Di samping kekuatan besar dimaksud, kita juga jangan sepelekan sponsor yang berada di dalam negeri sendiri.
Adakah kemungkinan kekuatan asing itu berkolaborasi dengan oknum tertentu di dalam negeri ? Jika dilihat dari gejala-gejalanya, kemungkinan itu bisa saja benar adanya. Tinggal kita menggunakan cara apa untuk mengamatinya.
Misalnya berdasarkan pengalaman pasca Pilpres beberapa waktu lalu, bisa menjadi ukuran sejauh mana pihak di dalam negeri juga bermain di Papua. Kerusuhan di Papua, bisa saja merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari peristiwa di Jakarta pada bulan Mei yang lalu.