Paham radikalisme telah menyebar luas dari berbagai celah. Tak hanya dikalangan masyarakat, sasarannya telah sampai perguruan tinggi, anak muda dan lembaga sekolah bahkan aparat negara dan pegawai pemerintah. Waspada sangat diperlukan supaya otak tidak mudah tercuci oleh doktrin radikalisme.
Penyebaran paham radikalisme di Indonesia beberapa tahun terakhir ini memang cukup memprihatinkan. Kini doktrin radikal telah menyasar ke berbagai kalangan. Tidak hanya warga biasa dan peserta didik, Pegawai Negri Sipil (PNS) dan Aparat Sipil Negara (ASN) pun telah termasuki oleh paham radikalisme.
Masyarakat dan pihak terkait diharapkan lebih waspada mengenai penyebaran paham radikalisme. Lantaran penyebaran paham radikalisme semakin kuat. Mantan menteri pertahanan, Ryamizard Ryacudu pernah mengatakan bahwa 3 persen dari anggota TNI telah terpapar paham radikalisme.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Gerakan Pemuda Ansor juga mengatakan bahwa telah banyak masjid-masjid di perusahaan BUMN tersusupi oleh paham radikalisme.
Penyebaran radikalisme ini memang harus ditangkal, terutama penyebaran yang dilakukan melalui media sosial.
Penggunaan internet sebagai alat untuk menggali infomasi sudah menjadi hal yang wajar. Adanya transfer informasi yang sangat cepat, seolah telah melenyapkan urgensi atas validasi berita yang disajikan. Berbagai konten dapat dilihat melalui internet. Bahkan, tak jarang yang merasa sudah pintar mengaji hanya dengan belajar kajian di internet.
Apabila yang diakses adalah dakwah moderat dan bertanggung jawab, maka bukan menjadi masalah. Namun, dakwah radikal inilah yang menjadi masalah dan ketika tersebar di internet kemudian ditelan mentah-mentah oleh pengaksesnya.
Mantan Kapolri Tito Karnavian mengatakan bahwa pelaku teror yang melakukan aksinya di Medan, Sumatra Utara beberapa waktu lalu mempelajari aliran dan paham radikalisme melalui internet.
Di era milenial ini, kebanyakan pengguna internet adalah anak muda. Mereka dapat menjadi sasaran yang empuk bagi kelompok penyebar paham radikalisme. Pasalnya, masa transisi yang dialami oleh anak muda ini adalah masa krisis identitas atau masa pencarian jati diri.
Anak muda sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan radikalisme. Terlebih, para pelaku teroris memahami kondisi psikologis anak muda. Para oknum radikalis mengincar mereka yang tidak puas, labil, dan frustasi terhadap pemerintah maupun kondisi sosial di lingkungannya. Kemudian, mereka akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh mangsa incarannya, sehingga dengan mudah kader-kader baru didapatkan.
Begitu maraknya penyebaran paham radikalisme di internet, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat telah melakukan pemblokiran pada 1500 situs dan akun sosial media yang terindikasi mengunggah konten radikalisme dan terorisme sepanjang tahun 2019.
Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Seto mengatakan bahwa secara total selama 10 tahun terakhir telah melakukan pemblokiran pada 11.800 situs dan akun sosial media yang menyebarkan paham radikalisme dan ajakan terorisme.
Konten dan situs yang memuat paham radikalisme memang sangat berbahaya. Radikalisme dan aksi terorisme ini menyangkut dengan pertahanan kedaulatan negara. Maka dari itu, harus ada tameng dang sikap waspada terhadap penyebaran radikalisme yang sangat halus dan tidak terasa.
Radikalisme juga dapat tumbuh akibat pemahaman tekstual pada sumber hukum islam dan kurangnya tafsir ilmu dalam konteksnya. Masalah ini dapat teratasi dengan belajar kajian bahasa arab yang benar.
Penggunaan internet dan meningkatnya kemajuan teknologi dapat memengaruhi aspek perubahan etika dan perilaku dalam masyarakat. Semakin masyarakat tergantung terhadap penggunaan media sosial maka tersebarnya informasi menjadi tidak terbendung sehingga masuknya paham radikalisme semakin mudah.