Belakangan ramai tagar BlackLiveMatter yang dikaitkan dengan situasi dan pengalaman rasial yang dialami sebagian masyarakat Papua, hingga muncul tagar PapuaLiveMatter. Padahal ada kondisi sosial politik berbeda.
Apalagi secara kontekstual isu rasisme di AS dan Indonesia berbeda, dimana Indonesia dibangun berdasarkan nilai Bhineka tunggal Ika.
Karena itu semua pihak didorong agar tak terpancing. Juga, tidak memanfaatkan situasi saat ini dengan mengalihkan isu ke arah mendukung separatisme di tanah air. Khususnya gerakan dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Herry Ario Naap, Bupati Biak Numfor, menyampaikan, agar perasaan merasa terdistriminasi hilang, maka menjadi kewajiban bersama untuk membangun masyarakat Papua melalui berbagai hal, terutama peningkatan sumber daya manusia.
“Jika ada peningkatan dalam hal pendidikan maka diskriminasi akan berkurang untuk Papua, hal ini diharapkan adanya gerakan dari pemerintah pusat,” ujar Herry, dalam diskusi Papua Dalam Keberagaman Indonesia, Senin (15/6) kemarin.
Di sisi lain, ia mengajak para mahasiswa Papua untuk aktif dalam pendidikan sehingga mampu berprestasi. Ketika berprestasi, tidak akan pernah ada yang meremehkan. Kemudian meningkatkan kompetensi dan aktif dalam berbagai bidang kegiatan baik organisasi maupun kelembagaan.
Hanya saja, sering kali ketika di Papua aktif di Gereja, namun setelah kuliah di Jawa menjadi tidak aktif, muncul ekslusifisme sehingga mengantar hidup dengan kelompok itu saja.
“Mahasiswa harus aktif organisasi dengan demikian bisa merangkul dihargai toleransi terbangun, saya sebagai Bupati ketika terjadi kasus di Surabaya meminta tetap di sana dan tidak pulang,” ujar Herry.
Herry menambahkan, ia mendorong mahasiswa Papua harus menunjukkan prestasi agar tidak dipandang remeh oleh pihak lain, ia juga mengimbau agar mahasiswa Papua agar bisa hidup bersosialisasi agar tidak hanya hidup dan mengenal dari satu suku saja, dan mahasiswa Papua harus aktif dalam setiap organisasi.
Thomas Eppe Safanpo Wakil Bupati Asmat juga mengingatkan, persoalan rasisme bukan persoalan papua, namun persoalan Indonesiakeseluruhan. Karena itu, semua kalangan harus diedukasi hidup dalam keberagaman, jangan mengejar persatuan lalu keberagaman dinafikan.
Thomas mengemukakan, sebagai mantan mahasiswa Papua yang pernah kuliah di Solo, ia merasa masyarakat sangat terbuka dan tidak pernah ada perlakukan rasis yang terbuka.
Hanya, harus diakui sering kali ada ekspresi dan pernyataan konyol, maupun mimik bahasa. Bagi dia, ekspresi seperti itu tidak bisa dihindari, karena terkait penafsiran orang yang berbeda. Asal dijelaskan dijawab maka persepsi orang akan lebih baik lagi ke warga Papua.
Ia menyatakan bahwa rasisme timbul karena ada tingkat superioritas berdasarkan warna kulit, namun Indonesia menurutnya adalah negara bhineka tunggal ika dengan berbagai macam warna kulit. Karena itu cara menyikapi rasisme tidak harus dengan kerusuhan.
“Rasisme yang muncul ini bukan cuma untuk Papua, tapi keseluruhan warga Indonesia harus di edukasi agar bisa menghargai hidup dalam keberagaman. Tidak usah diadakan asrama, agar mahasiswa Papua dapat berbaur dan menyatu dengan semua pihak dan bisa berbaur dengan suku manapun, sama seperti kondisi mahasiswa Papua dulu,” ujar Thomas.
Wakol Yelipele, Ketua PMKRI Papua, menambahkan, bahwa rasisme bukan hanya terjadi dan kepada orang Papua, tapi rasisme ada di mana-mana di segala golongan.
Karena itu, ia meminta agar tidak memisahkan antara Papua dan Indonesia, namun bersama menyatukan. Karena itu, organisasi mahasiswa gencar bekerjasama memerangi rasisme lintas golongan organisasi.
Juga, rutin berkeliling Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan dan untuk menyatukan Indonesia. Mahasiswa Papua berada di posisi tengah yang tidak memihak siapapun dan mengutamakan untuk keadilan, kesejahteraan antar wilayah se-Indonesia.
Wakol mengaskan tagar PapuaLivesMatter juga sejatinya tidak relevan karena faktanya, warga Papua sangat terbuka, mau bekerjasama.
Misal di tempat lahirnya, ada banyak warga suku bangsa, agama, membaur, ketika hari besar bersama saling membantu saling merayakan, hal ini dilakukan hidup dalam kerukunan menjadi contoh daerah lain, tidak ada perbedaan satu membangun negeri.
Sementara Ayub Anto, salah satu Mahasiswa Papua yang menempuh kuliah di Solo, mengingatkan bahwa semua pihak harus melihat tujuan besar negara Indonesia yang dibangun dari berbagai macam suku.
Ia mengaku, sejak kecil tinggal di Jawa, dan hidup dengan berbagai suku dalam satu rumah, sehingga perasaan saling merangkul, bersama, tercipta.
Ia mengajak teman-teman mahasiswa Papua diharapkan untuk fokus pada Pendidikan, sehingga ketika selesai mampu membantu masyarakat Papua dan tidak terprovokasi. Ia yakin rasisme dapat ditekan, dengan memperkenalkan Indonesia yang beragam.