Ruang publik dua bulan terakhir ini bising soal Omnibus Law. Seperti mantra sakti: digosipkan di warung kopi. Jadi tren diskusi kampus-kampus. Tentu menyelinap pula di sela-sela Gedung Parlemen Senayan.
Pro-kontra menjadi risiko sebab pilihan reformasi adalah demokrasi.
Salah satu yang paling kontroversial di publik adalah RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Kenapa kontroversial?
Pertama, puluhan undang-undang direvisi pada pasal-pasal tertentu.
Kedua, polemiknya beragam mulai soal buruh, ekologi sampai relasi pusat dan daerah.
Ketiga, dugaan implikasi yang serius ke pelbagai arah termasuk pada dugaan potensi ancaman demokrasi dan otonomi daerah.
Gagasan Omnibus Law
Dalam perspektif Guru Besar FHUI, Maria Farida Indrati, omnibus (latin) bermakna untuk semua atau untuk segalanya. Tentunya, istilah omnibus law bermakna hukum untuk semua atau segalanya.
Bagi Maria, dari beragam rumusan pengertian omnibus, ia memilih pengertian “satu UU (baru) yang mengandung atau mengatur berbagai macam substansi dan berbagai macam subyek untuk langkah penyederhanaan dari beberapa UU yang masih berlaku”. (Maria Farida, Opini, 4/01/2020: 6).
Omnibus Law itu sendiri hal lazim di negara-negara common law dan kurang dikenal di negara bersistem civil law seperti Indonesia.
Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, tidak ada norma eksplisit yang dapat ditafsirkan dan ditemukenali sebagai model omnibus law.
Awal gagasan omnibus law sebenarnya dari kekecewaan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Indonesia minim dihampiri investasi. Padahal investasi pelumas ekonomi. Apalagi di era ekonomi digital.
Prediksi Jokowi, hukum diduga membuat investasi tidak menarik. Regulasi bertumpuk. Birokrasi berbelit. Waktu mengurus perizinan mengular. Obesitas regulasi menimbulkan dampak serius. Implikasinya serius.
Pertama, lemahnya daya saing investasi (Ease of Doing Business/EoDB) dan pertumbuhan sektor swasta.
Misalkan saja di bidang kemudahan berusaha EODB yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Indonesia menduduki peringkat ke 73 dari 190 negara.
Dalam laporan di tahun 2019 ini, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96.
Dari 10 indikator yang dinilai oleh Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia mencatatkan penurunan di empat bidang, yaitu dealing with construction permit, protecting minority investors, trading across borders, enforcing contracts.
Kedua, terbukanya peluang korupsi. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi perizinan masih menjadi lahan empuk korupsi pejabat daerah.
Dari 105 kepala daerah yang kasusnya tengah ditangani KPK, 60 orang di antaranya terlilit kasus suap, sementara sisanya terkait kasus yang merugikan keuangan negara, gratifikasi, hingga pemerasan.
Masalah perizinan dianggap kerap menjadi batu sandungan para kepala daerah.
Dari dua hal di atas, nampaknya Presiden Jokowi percaya, hanya RUU Omnibus Law yang bisa memangkas persoalan obesitas regulasi dan perizinan.