Yogyakarta, – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar mengatakan, Rencana Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau Cipta Kerja sektor LHK yang sedang dirumuskan pemerintah tidak akan melupakan prinsip-prinsip lingkungan dan kehutanan Indonesia. Bahkan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tetap ada, tidak dihapus seperti yang ramai dikabarkan.
Oleh karena itu, sektor LHK di RUU ini akan ditetapkan dengan standar khusus di perizinan berusaha, termasuk soal Amdal yang tetap akan masuk dalam standar yang harus dipatuhi dan dijalani pihak yang mengajukan perizinan berusaha.
“Setelah standar diberikan, maka jika ada pihak yang melanggar akan dikenai sanksi sesuai aturan hukum yang diatur di undang-undang tersebut. Pengawasan lingkungannya bagaimana? Tadi kan dibilangin pada hal-hal tertentu ditetapkan dalam bentuk standar. Berarti standar ditentukan duluan. Standarnya ditentukan pemerintah sekarang. Maka dalam prosesnya dalam usaha, kalau tidak sesuai standar maka dia akan kena. Kena sanksi,” kata Siti dalam kegiatan Media Gathering KLHK Sosialisasi RUU Omnibus Law sektor Lingkungan dan Kehutanan di Hotel Grand Sahid, Yogyakarta, Sabtu (29/2/2020).
Politisi Partai Nasdem ini juga menambahkan, semua yang berkaitan untuk menjaga lingkungan dan kehutanan tidak akan diabaikan meski perizinan berusaha diberikan pada masyarakat. Bahkan, pengawasannya semakin diperketat lewat standar yang diatur dalam Omnibus Law.
Menurutnya, akan ada standardisasi untuk formulir kerangka acuan (KA) dan standar untuk formulir upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL). Selain itu, ada pula pelaksanaan sistem kajian dampak yang akan dilakukan dengan melibatkan para ahli dalam suatu lembaga yang bertugas untuk melakukan uji kelayakan lingkungan terhadap dokumen Amdal.
Kemudian, juga akan dilakukan penataan ulang pelibatan masyarakat. Bahkan, menurut Siti, selama ini, pelibatan masyarakat dalam skala luas banyak diboncengi kepentingan yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan warga yang terkena dampak.
“Pelibatan masyarakat tidak hilang dalam Omnibus Law, tetapi diatur supaya lebih tepat sasaran dengan melibatkan masyarakat yang memang terdampak langsung dengan rencana kegiatan usaha,” ucapnya.
Selanjutnya, Siti menyebutkan, RUU Omnibus Law akan memuat perlindungan lingkungan hidup mulai dari hulu hingga ke hilir untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini, standar ini dibuat dari pemerintah pusat dan wajib diikuti oleh daerah sehingga pengawasan dan penegakan hukum tentu akan menjadi lebih kuat.
Siti juga menyebutkan, KLHK akan membentuk Badan Pengendalian Standar Instrumen dan Peralatan. Lembaga ini sebelumnya bernama Badan Riset Inovasi yang juga berada di bawah KLHK. Dengan begitu, semua pengawasan dan kontrol perizinan berusaha akan dilakukan di badan tersebut.
Terdapat tiga lapis pengawasan intens yang dilakukan agar semua izin usaha berjalan sesuai standar yang diatur pemerintah. Mulai dari pengawasan pembinaan, pengawasan reguler, hingga pengawasan sebelum penegakan hukum. Siti mengatakan, apabila sudah ada pelanggaran berat, maka bisa ada pencabutan izin usaha.
“Pengawasan sebelum penegakan hukum misalnya ada pengaduan serius tentang masalah yang cukup berat dan perlu diinvestigasi, maka akan diinvestigasi. Jadi jika dalam pengawasan itu ada ditemukan perizinan berusaha yang melanggar standar pemerintah maka bisa terkena sanksi sesuai UU Lingkungan. Sanksi-sanksi hukum masih sama, tidak akan berubah. Kalau melanggar, ya kena,” ujarnya.
Siti juga mengatakan, pelaksanaan RUU Omnibus Law ini tetap berada di Kementerian dan kepala daerah. “Jadi pengertian bahwa wewenang ditarik itu ke pusat itu enggak benar. Sebab, pengertian yang ingin ditegaskan di UU ini adalah seluruh wewenang apapun di kepala pemerintahan yaitu presiden, tetapi pelaksanaannya diatur dalam PP. Tidak benar bahwa itu ditarik (ke pusat). Kewenangan kepala daerah tetap,” terang Siti.
Penyederhanaan
Sementara itu, Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menambahkan, dengan tujuan tersebut, KLHK juga berkepentingan pada pembahasan RUU Cipta Kerja terutama pada pasal UU 41 Tahun 1999, UU nomor 32 Tahun 2009, dan UU nomor 18 Tahun 2013. Pasalnya, dalam ketiga UU tersebut terdapat pasal yang dilakukan penyesuaian norma, penghapusan norma, dan penambahan norma baru.
Bambang menyebutkan, dengan hadirnya RUU Omnibus Law bidang LHK, pemerintah memastikan tidak ada penghapusan soal aturan Amdal di RUU. Pemerintah hanya menyederhanakan prosedur perizinan berusaha terkait Amdal yang dulunya berbelit-belit dan rentan dimanfaatkan oknum tertentu untuk melakukan penyimpangan.
“Semangat yang diusung RUU Omnibus Law ini adalah penyederhanaan regulasi tanpa mengabaikan prinsip lingkungan,” ujar Bambang.
Melalui penyederhanaan prosedur, lanjutnya, maka celah untuk penyimpangan oleh oknum akan tertutup karena semua prosedur diselesaikan dalam satu pintu yang disebut sebagai paket perizinan berusaha. Pasalnya, dalam RUU Omnibus Law akan dibuat standar perizinan berusaha, yang berlaku di seluruh Indonesia tanpa terkecuali.
“Tidak ada penghapusan Amdal. Meskipun nomenklatur izin lingkungan dihilangkan, tetapi substansi muatan dari izin lingkungan tersebut tidak dihilangkan. Namun, masuk dalam perizinan berusaha. Semangat yang diusung RUU Omnibus Law adalah penyederhanaan regulasi tanpa mengabaikan prinsip lingkungan, untuk menjaga lingkungan kita,” ujarnya.
Bambang menyebutkan, sebelum RUU Omnibus Law dirumuskan, izin usaha yang diajukan masyarakat harus melalui beberapa tahap yang cukup panjang dan memakan waktu lama. Dulu, prosedur soal izin usaha dan Amdal terpisah sehingga cenderung bisa menjadi celah yang dimanfaatkan oknum untuk melakukan penyimpangan.
Namun, di RUU ini akan disederhanakan serta pendekatan perizinan lingkungan dilakukan berbasis pendekatan risiko. Pemberian izin setiap kegiatan dan usaha dilihat potensi risikonya oleh pemerintah pusat sebagai pembuat standar dalam PP.
Bambang menyebutkan, Omnibus Law membagi risiko menjadi risiko tinggi, sedang, dan rendah atau risiko kecil. Risiko tersebut akan dibuatkan standar baku mutunya. Risiko tinggi wajib dilakukan Amdal. Kemudian risiko sedang dampak dikelola melalui UKL dan UPL. Sedangkan, untuk izin berusaha risiko rendah dilakukan dengan sistem registrasi melalui standar baku sebagai alat kontrol.
“Dalam RUU Omnibus Law, persetujuan dokumen Amdal dalam bentuk Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup akan diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha. Konsep rumusan ini pada dasarnya memposisikan persyaratan dan kewajiban dari aspek lingkungan menjadi lebih powerful,” ucapnya.
Bambang juga menyebutkan, pengawasan untuk setiap perizinan berusaha juga menjadi lebih mudah karena semua dilakukan satu pintu serta terintegrasi dalam satu paket. Termasuk soal penegakan hukum juga menjadi lebih jelas karena setiap satu paket perizinan berusaha yang melanggar aturan bisa terkena sanksi sesuai UU tersebut.
Dalam hal ini, kewajiban KLHK adalah menyiapkan peraturan pemerintah (PP) untuk memastikan integrasi kewajiban dalam persyaratan aspek lingkungan yang terdapat dalam Amdal dan UKL-UPL termuat dalam perizinan berusaha. Pasalnya, Amdal tidak lagi diposisikan sebagai syarat kunci memulai izin usaha, tetapi menjadi standar yang wajib dipenuhi para pelaku usaha.
“Standar ini akan berlaku sama di semua daerah, tidak lagi beda daerah beda aturan. Dengan begitu menutup peluang ada yang main-main dengan ini. Kalau tidak memenuhi persyaratan aspek lingkungan, lewat RUU Omnibus Law, maka izin usahanya bisa dicabut,” pungkasnya.