Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua telah mengajukan gugatan kepada Mahkama Konstitusi (MK) tentang keabsahan Pepera pada 11 April 2019. Permohonan tersebut tercatat dengan Nomor 35/PUU-XVII/2019.
Mahkama Konstitusi telah “Mengadili dan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Anwar Usman saat membacakan putusan di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (6/01/2020).
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Senin (6/1/2020). Mahkamah Konstitusi menolak untuk memeriksa pokok perkara permohonan itu, karena menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam kasus itu.
Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten- Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat terhadap Undang-undang Dasar (UUD) 1945 itu didaftarkan pada 11 April 2019 lalu. Para pemohon dalam perkara itu adalah Zadrack Taime, Yan Peter Yarangga, Paul Finsen Mayor, Sirzet Gwasgwas, Oktovianus Pekei, Albertus Moiwend, Yohanis Petrus Kamarka, Djanes Marambur, Yosepa Alomang, Karel Philemon Erari, Pdt Herman Awom STh, Thaha M Alhamid, Solidaritas Perempuan Papua (SPP), dan Kemah Injil Gereja Masehi (KINGMI) di Tanah Papua.
Dalam putusan perkara Nomor 35/PUU-XVII/2019 yang dibacakan pada Senin, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, karena dianggap tidak ada kerugian konstitusional. Oleh karena itu, MK menolak untuk memeriksa pokok perkara dalam permohonan itu.
Objek pengujian materiil yang diajukan adalah UU No. 12 tahun 1969 khususnya bagian Menimbang serta Bagian Penjelasan I paragraf 7 dan 8.
Dalam objek yang diuji, yakni Bagian Penjelasan I UU No. 12 tahun 1969, disebutkan bahwa mayoritas masyarakat Papua telah dengan sadar dan penuh rasa persatuan memutuskan untuk bergabung dengan Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 silam.
Namun, Koalisi merasa pelaksanaan Pepera sarat dengan pelanggaran HAM. Masyarakat Papua pun tidak menentukan pilihan secara independen, melainkan dipaksa oleh banyak oknum agar memilih untuk bergabung dengan Indonesia. Itu bertentangan dengan UUD Pasal 28E Ayat (2), 28 G Ayat (1), dan Pasal 28 I Ayat (1).
Oleh karena itu, mereka menganggap Pepera tidak sah dan tidak bisa dijadikan landasan pembentukan UU No. 12 tahun 1969 tentang pembentukan Provinsi Papua. Jika demikian, pembentukan Provinsi Papua berdasarkan UU No. 12 tahun 1969 juga tidak sah.
Setelah melalui pemeriksaan, penelitian dan pertimbangan berbagai aspek hukum dan sejarah akhirnya Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mengatakan bahwa MK tidak bisa dan tidak berwenang menilai keabsahan hasil Pepera 1969. Alasannya, Pepera sudah disahkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 (XXIV) pada 19 November 1969.
“Mendalilkan kerugian konstitusionalitas dari ketentuan UU 12 Tahun 1969 sama artinya ‘memaksa’ Mahkamah untuk menilai keabsahan tindakan PBB,” kata Palguna.
Dalam putusan juga dijelaskan bahwa para pemohon tak berhak mengajukan uji materi. Mengingat UU Nomor 12 Tahun 1969 sebagai beleid pembentukan daerah, maka hanya pemerintah daerah yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan.” kata Palguna.
Dengan demikian Papua sebagai bagian dari kedaulatan NKRI Sudan final dan tak dapat diganggu gugat lagi. Yang harus dipikirkan oleh seluruh anak-anak Bangsa uadalah bagaimana membangun Papua menuju masa depan yang lebih cerah dalam bingkai NKRI. Bangun SDM, bangun infrastruktur agar kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial dapat terwujud merata sampai ke pelosok masyarakat. Mari akhiri Segala konflik Karena tidak perlu lagi ada yang dipertentangkan.