kemajuan teknologi informasi telah dimanfaatkan banyak pihak untuk ikut menyebarkan paham radikal. Masyarakat dan Pemerintah diminta untuk tidak lengah dalam mewaspadai penyebaran radikalisme di media sosial.
Penggunaan internet sebagai media untuk mengakses informasi sepertinya menjadi hal yang jamak ditemukan saat ini. Transfer informasi yang begitu cepat seakan melenyapkan urgensi atas validitas berita yang disajikan.
Berbagai konten-pun bisa kita dapatkan melalui internet, bahkan ada pula yang merasa sudah pintar mengaji hanya karena kajian melalui internet. Jika yang diakses adalah dakwah moderat dan bertanggungjawab tentu hal ini tidak masalah, namun yang menjadi masalah adalah ketika dakwah radikal telah tersebar di internet dan dipercaya begitu saja oleh yang mengaksesnya.
Sehingga kita-pun tak bisa mengelak, bahwa dengan adanya arus internet yang cepat justru memudahkan kaum radikal dalam menyebarkan ideologinya. Sehingga akan ditemui seseorang yang tiba-tiba mengharamkan ini itu hanya berdasar pada kajian di Internet.
Mantan Kapolri Tito Karnavian pernah menyatakan, bahwa pelaku teror yang melakukan aksinya di Medan Sumatera Utara tersebut mempelajari paham radikal melalui dunia maya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika hingga saat ini sudah memantau 200 situs di Internet yang bermuatan negatif. Pada tahun 2015 sebanyak 22 situs yang menyebarluaskan radikalisme sudah diblokir oleh pemerintah. Pemblokiranpun tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit.
Sejak Era ISIS, proses radikalisme berubah, yang sebelumnya melalui kamp-kamp pelatihan, lantas bertransformasi melalui media internet. Seakan Media sosial menjadi inkubator radikalisme hingga kemudian tren radikalisme semakin mudah dan cepat.
Anak-anak muda tersebut, mendapatkan paham ekstrem yang dibungkus dengan propaganda dalam bentuk narasi-narasi kegelisahan. Narasi tersebut memunculkan persepsi berupa ancaman bahwa dunia ini akan memburuk.
Namun kenyataannya bisa kita lihat, Mantan WNI yang merobek paspornya tidak bisa pulang kembali ke Indonesia.
Gerakan radikal kerap melakukan rekrutmen melalui berbagai akun media sosial. Sasaran mereka biasaya menyangkut pada anak muda yang akan dicuci otaknya untuk diberikan paham radikalisme.
Pergerakan organisasi radikal seperti ISIS di Indonesia tentu perlu diantisipasi oleh seluruh lapisan masyarakat. Eksistensi radikalisme di Indonesia tentu sangat berbahaya bagi ketahanan negara Indonesia apabila masyarakat tidak berperan dalam mengantisipasi gerakan-gerakan radikalisme.
Karena seperti yang kita tahu bahwa salah satu penyebab generasi muda amat rentang terdoktrin radikalisme karena mereka belajar agama Islam melalui internet atau online. Oleh karena itu sebaiknya generasi muda jangan hanya belajar agama Islam via online saja, tetapi harus berguru pada ulama, terutama ulama yang moderat.
Mantan teroris Bom Bali Umar Patek meminta, agar generasi muda tidak mengikuti jejaknya. Dirinya bahkan menekankan agar tidak mudah termakan oleh iming-iming janji surga yang instant.
Umar juga mengatakan agar kementerian komunikasi dan informasi melakukan pengawasan yang ketat untuk menangkap penyebaran radikalisme melalui online. Ia mengungkapkan bahwa penyebaran radikalisme ini lebih banyak melalui internet, tidak seperti zaman dulu yang harus bertatap muka.
Doktrin paling berhahaya dalam paham radikalisme adalah doktrin tentang Istisyhad atau bom bunuh diri. Bom bunuh diri ini dianggap sebagai operasi mati syahid dimana orang yang melakukannya akan mati syahid dan langsung masuk surga dengan dipeluk oleh para bidadari surga. Padahal bunuh diri jelas bukan surga balasannya melainkan neraka. Bom bunuh diri merupakan adopsi dari paham syiah bathiniyah yang mempunyai arti menebus surga dengan mengorbankan diri dalam sebuah operasi pembunuhan.
Doktrin seperti itu jika tersebar di internet, tentu akan berbahaya bagi rasa persatuan dan dapat menghancurkan toleransi yang telah di rawat
Meski demikian, kita harus tahu bahwa kecenderungan seseorang yang terpapar radikalisme berasal dari keadaan ekonomi keluarga atau lingkungan keluarganya yang kurang komunikatif.
Sehingga muncul keinginan untuk mencari pencerahan di internet, tanpa disadari hal tersebut justru menjerumuskan dirinya kedalam hal yang radikal tanpa filter, dan menganggap bahwa kelompok radikal merupakan sebuah solusi atas permasalahan dirinya.
Apalagi jika ada seseorang yang anti terhadap pancasila setelah mengikuti kajian yang ada di internet, dan mempercayai bahwa bendera merah putih tak layak dihormati.
Oleh karena itu, dalam bersosial media atau bermain internet, pikiran kita harus sadar oleh apa yang tengah dibaca, jangan sampai mudah terprovokasi oleh hal-hal yang cenderung hiperbola dan mengajak pada kekerasan.