Presiden Joko Widodo menyebut, Indonesia masih memiliki pekerjaan besar yang belum selesai dalam rangka menurunkan angka kemiskinan. Jokowi mencatat masih ada 24,7 juta jiwa yang masuk kategori miskin, dan 9,91 juta di antaranya dalam kategori kemiskinan ekstrem.
Jokowi menargetkan kemiskinan ekstrem ini bisa hilang pada 2024 mendatang. “Kita harapkan di 2024, untuk kemiskinan ekstrim ini kita bisa pada berada posisi 0,” kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/3/2020).
Untuk itu, Jokowi meminta jajarannya bekerja lebih fokus lagi untuk menyasar penduduk yang sangat miskin. “Kita bisa fokus menangani terlebih dahulu yang 9,91 juta jiwa ini.
Karena itu, data tentang siapa dan di mana warga kita ini harus betul-betul akurat. Sehingga program bisa disasarkan tepat pada kelompok sasaran yang kita inginkan,” kata dia.
Jokowi juga meminta stretegi pengentasan kemiskinan betul-betul terkonsolidasi, terintegrasi, dan tepat sasaran. Sehingga pembagian tugas setiap kementerian dan lembaga harus jelas.
Kepala Negara menegaskan perlu intervensi dari kementerian/lembaga dari sisi program, baik yang berkaitan dengan Jaringan Kesehatan Nasional, Kartu Indonesia Sehat, Program Keluarga Harapan, Bantuan Pangan non Tunai, dan kartu sembako.
Juga program pinjaman seperti Kredit Usaha Rakyat dan Bank Wakaf Mikro.
Tak hanya kementerian lembaga, Jokowi juga meminta ada peran BUMN dan swasta dalam pengentasan kemiskinan ini lewat program Corporate Social Responsibility. “Kalau ini betul-betul bisa kita lakukan terkonsolidasi, saya yakin angka (kemiskinan ekstrim) 0 tadi bisa kita lakukan,” kata Jokowi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi pemerintah untuk menurunkan stunting dan kemiskinan adalah persoalan data.
Ia mengatakan, harus ada evaluasi secara menyeluruh dan penyesuaian kebijakan agar tepat sasaran dalam penanganan masalah kemiskinan serta stunting. “Soal data.
Kami sepakat untuk segera mempercepat pembangunan satu data Indonesia, terutama untuk data kemiskinan dan stunting menjadi satu,” kata Muhadjir seusai rapat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di Kantor TNP2K, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa (11/2/2020).
Pemerintah pun mencanangkan program Satu Data Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019, dengan Badan Nasional Perencanaan Pembangunan (Bappenas) sebagai leading sector-nya.
Melalui program satu data tersebut, kata Muhadjir, maka pemerintah bisa menyelesaikan masalah lebih sistematis, serta targetnya pun terukur karena datanya sudah pasti.
Adapun data Badan Pusat Statistik ( BPS) yang sudah ada bersifat umum dan harus dirinci lagi menjadi lebih detail. “BPS kan hanya data statistik, kita perlu data yang merupakan perpaduan komplet antara data statistik dan geospasial,” kata Muhadjir.
BPS merilis jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 turun sebanyak 805.100 orang dibandingkan Maret tahun sebelumnya.
Pada Maret 2019, jumlah penduduk miskin berkisar 25,14 juta orang atau 9,41 persen dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah itu, jumlah penduduk miskin terbanyak masih di perdesaan, yaitu sebesar 12,85 persen. Adapun di perkotaan, jumlah penduduk miskin sebesar 6,69 persen.
Pada Maret 2018, persentase penduduk miskin sebanyak 25,95 juta orang atau sebesar 9,82 persen dari total penduduk Indonesia. Data tersebut menunjukkan laju penurunan kemiskinan yang semakin melambat.
Persentase kemiskinan pada Maret 2019 terhadap Maret 2018 turun sebesar 0,41 persen sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 0,82 persen.