Suarayogyakarta.com – Direktur Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara memaparkan, ada empat alasan mengapa khilafah ditolak dan tidak bisa diterapkan. Pertama, khilafah ditolak di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Bahkan, organisasi pengusung khilafah, Hizbut Tahrir, ditolak di dua puluh negara lebih, termasuk Indonesia. “Kedua, sistem khilafah mana yang jadi rujukan,” kata kata Robi dalam sebuah diskusi di Sekretariat Islam Nusantara (INC).
Pada era khulafaur rasyidin, pergantian khalifah menggunakan sistem yang tidak sama: ada yang menggunakan musyawarah melalui semacam ahlul halli wal aqdi, ada yang ditunjuk khalifah sebelumnya, dan ada yang dipilih khalayak ramai. Sementara, khalifah pada era Umayyah, Abbasiyah, hingga Usmaniyah, diangkat berdasarkan darah keturunan
Ketiga, siapa yang akan dijadikan khilafah. Dewasa ini, jumlah umat Islam diperkirakan 1,8 miliar dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Perihal siapa yang berhak menjadi khalifah tentu akan menjadi persoalan yang pelik, mengingat umat Islam terdiri dari banyak suku dan bangsa yang berbeda.
Terakhir, sistem khilafah tidak sesuai dengan masa sekarang. Jika para pengusung khilafah merujuk sistem khilafah pada era Umayyah, Abbasiyah, hingga Usmaniyah, maka sistem khilafah yang bersifat otoritarianisme seperti itu tidak cocok untuk diterapkan pada era seperti saat ini.
Untuk itu, Robi menawarkan beberapa jalan tengahnya karena bagaimanapun juga khilafah adalah bagian sejarah umat Islam dan mereka tidak bisa menghapusnya. Pertama, khilafah adalah produk ijtihad politik para ulama. Jadi pengamalannya juga bersifat opsional atau bukan keharusan.
Kedua, khilafah sebaiknya tidak masuk gerakan politik, tapi masuk pada gerakan spiritual, kemanusiaan, atau juru damai seperti Vatikan.