Categories Ekonomi

Ekonomi RI diyakini tangguh hadapi krisis keuangan negara maju

Pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2023 ini diyakini terus mengalami perbaikan setelah melewati pandemi Covid-19. Meski begitu, dinamika global seperti krisis keuangan bank di Amerika Serikat dan Eropa perlu segera dimitigasi guna mengantisipasi sedini mungkin potensi resiko yang menghambat pemulihan ekonomi.

Tahun ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mampu tumbuh hingga 5,31%, jauh lebih baik dibandingkan pencapai tahun 2022 sebesar 3,69%. Laju pertumbuhan ekonomi tersebut didorong peningkatan permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi.

Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Prof. Dr Djisman Simandjuntak menguraikan kembali, pandemi Covid-19 telah berimplikasi terhadap penurunan laju pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi yang tidak terkendali, meningkatnya angka pengangguran. Belum cukup sampai di situ, merosotnya transaksi perdagangan yang selama ini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi global.

“Asia Tenggara sekarang jauh lebih baik daripada negara-negara lain di dunia. China kembali menjadi bagian dari dunia dan tumbuh kembali usai pembatasan [kebijakan] Covid-19. Saat ini semua negara sedang dan berhasil memulihkan situasi,” ujar Djisman dalam sambutan Seminar “Outlook Ekonomi dan Bisnis Prasetiya Mulya 2023” yang merupakan kerja sama Center Market of Education (CME) dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Tangerang, Rabu (19/4/2023).

Ekonom senior itu menyebut, Indonesia berada di pusaran “pertandingan” ekonomi di tingkat kawasan regional. Menurut Djisman, Asia Tenggara diproyeksikan akan mengalami penguatan ekonomi di angka 6%.

Indonesia, menurut Djisman, juga harus mampu mencapai proyeksi pertumbuhan ekonomi yang optimal di tengah negara-negara lain di Asia Tenggara yang juga mengalami pertumbuhan ekonomi yang moderat.

“Vietnam sekarang menjadi new champion (juara baru) yang diproyeksikan tumbuh di level 6,3%, Kamboja diprediksi berkisar antara 6,3% hingga 6,8%. Bagi Indonesia tantangannya ada di stabilitas ekonomi, yakni bagaimana menstabilkan portofolio kita, menstabilkan investasi kita, dan menstabilkan cara kita mengelola ekonomi ini,” ujar Djisman.

Ibarat ‘blessing in disguise’, sambung Djisman, pandemi yang memunculkan ketidakpastian juga berdampak positif terhadap lahirnya teknologi baru dan lingkungan kerja berbasis teknologi. Di sisi lain, banyak negara saat ini mulai menyadari pentingnya isu-isu yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, restorasi dan konservasi keanekaragaman hayati, serta praktik pengelolaan SDM non-diskriminasi.

Sementara itu Dr. Adrian Teja, Wakil Dekan 2 Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Prasetya Mulya mengingatkan krisis perbankan yang melanda kawasan Amerika Serikat dan Eropa akan membuat kondisi perekonomian dunia terganggu. Petaka mulai tampak pada kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB) hingga kasus yang menjerat Credit Suisse, sampai harus diakuisisi oleh pesaingnya sendiri, Union Bank of Switzerland (UBS).

Selain itu, kebijakan Federal Reserve yang memilih menaikkan suku bunga untuk menahan inflasi. Sejak April 2022, The Fed agresif menaikkan tingkat suku bunga acuan dari 0,5% hingga kini sudah berada di kisaran 5%.

Meski demikian, dia meyakini Indonesia mampu mengatasi ancaman krisis perbankan dengan segala kebijakan dan praktik pengalaman. Menurutnya, perbankan Indonesia dianggap mampu mengelola fortofolio sehingga menghindari investasi berisiko.

“Sekarang ketergantungan perusahaan publik terhadap pembiayaan perbankan cenderung menurun. Di sisi lain, tren perusahaan publik yang menjadi firma all-equity justru naik,” kata Adrian.

Dalam seminar ini turut dipaparkan laporan “Indonesia Economic and Business Outlook 2023” yang merupakan publikasi penelitian hasil kerja sama Universitas Prasetiya Mulya dengan CME. Laporan tersebut ditulis oleh 13 peneliti di antaranya Albert Hasudungan, Alfi Syahrin Ario Waskito (Economist dari CME-Indonesia), Alfian Banjaransari (Country Manager dari CME-Indonesia) dan Angel Sanjaya. Kemudian Carmelo Ferlito (Chief Executive Officer dari CME), Eusebius Pantja Pramudya, Felicia Gracelle, John Arnold Matthew, Nixon Widjaja, Paolo Casadio, Razim Ismail (CME-Malaysia), Stevania Serena Tanuwijaya, dan Yohanes B. Kadarusman, serta dilengkapi kata pengantar oleh Prof. Djisman S. Simandjuntak.

Direktur Asia Strategic Consulting sekaligus peneliti dari HELP University, Prof. Paolo Casadio menyampaikan paparan berjudul “Respon Indonesia terhadap Ketidakstabilan Ekonomi Makro Global”. Paolo menggunakan pendekatan dengan prospek makro ekonomi dengan menggunakan analisis skenario berupa aspek siklus, perubahan struktural dalam sistem keuangan.

“Dari analisis ekonomi kita dapat melihat bahwa dunia sudah ‘kembali normal’ dari sisi pertumbuhan ekonomi. Di mana pola mulai dibangun kembali dan [kekuatan] ekonomi Asia Tenggara mendekat atau melampaui proyeksi yang ada,” kata Paolo.

Analisis periset dari Asia Strategic Consulting ini menyebut Indonesia akan menjelma salah satu raksasa ekonomi di Asia Tenggara dengan proyeksi pertumbuhan yang kembali normal. Hal tersebut dicapai berkat stimulus besar-besaran dari kebijakan pemerintah. “Berkat fundamental yang kokoh, Indonesia dan Top 10 Ekonomi ASEAN lainnya tidak akan mengalami resesi pada 2023,” terangnya.

Chief Executive Officer (CEO) dari Center for Market Education Carmelo Ferlito mengatakan, ekspektasi seringkali menemukan ruang sempit dalam memprediksi ekonomi. Dia menjelaskan tentang konsep Consumer Confidence Index (CCI) atau Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Dia menjelaskan, dampak pandemi Covid-19, terkait dengan tingkat intervensi pemerintah yang lebih tinggi dalam ekonomi dan keputusan pembatasan pergerakan (PPKM) yang tidak konsisten. Situasi tersebut menimbulkan menimbulkan tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi.

Jika selama periode 2017-2019, CCI  (Consumer Confidence Index) berubah rata-rata 1,88% per bulan, CECI (Current Economic Condition Index) sebesar 2,23% dan CEI (Consumer Expectation Index) sebesar 1,71%, pada periode 2020-2022 rata-rata perubahan bulanan melonjak menjadi 6,8% untuk CCI , 9,19% untuk CECI dan 6% untuk CEI.

“Kepercayaan konsumen membaik, tetapi tetap rapuh. Sebaliknya, kepercayaan bisnis terus memburuk, dan PMI (Purchasing Manager’s Index) diperkirakan akan sedikit menurun juga. Faktor utama yang akan memengaruhi ekspektasi adalah memburuknya skenario perdagangan internasional, serta keputusan dalam kebijakan moneter dan fiskal,” ujarnya.

“Real Estate sector itu menjadi salah satu yang cukup memberikan indikator kepada kita tentang tren ekonomi di masa yang akan datang. Sudah banyak memang kajian yang mengatakan bahwa hubungan antara krisis ekonomi dengan real estate itu mempunyai relasi yang cukup kuat,” kata Presiden dari Center for Market Education Indonesia (CME-ID) Chandra Rambey.

Dia menjelaskan, setiap krisis ekonomi kerap kali diawali dengan penurunan investasi di bidang properti.Hal ini itu merujuk pada penelitian yang cukup panjang di AS mulai dari periode “Great Depression” hingga “Great Recession”.

“Sebanyak 12 kali resesi kecil mengatakan krisis ekonomi selalu didahului oleh penurunan investasi bahkan penurunan penjualan di bidang properti. Karena itu, penting bagi kita mempelajari perilaku dari pasar properti untuk mengantisipasi krisis ekonomi yang akan terjadi atau ekonomi global,” terang Chandra.

Chandra menyebut, dari sisi fiskal, terdapat dua kebijakan pemerintah sebenarnya yang memberikan keuntungan kepada sektor properti. Pertama, adanya kemudahan ataupun kelonggaran di dalam pembayaran Down Payment atau uang muka rumah yang mendorong masyarakat untuk membeli rumah khususnya untuk rumah-rumah pertama (subsidi).

“Adanya PPN DTP yang ditanggung pemerintah sebesar 50% ini yang mendorong pembeli rumah untuk lebih agresif dan berani (mengambil keputusan),” kata Chandra.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *