Jakarta – Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani optimistis penerapan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 6%.
“Saya yakin kalau ini efektif 1 tahun sejak diundangkan, pertumbuhan ekonomi kita akan lebih dari 6%, yakin. Karena itu, yang selama ini engine pertumbuhan kita berat banget, sekarang menjadi semua yang tadinya tidak produktif jadi produktif,” kata Hariyadi di kantor Apindo, Jakarta, Kamis (23/1/2020).
UU tersebut dinilainya akan menciptakan lapangan kerja secara massive. Penciptaan lapangan kerja itu akan terasa di industri manufaktur yang menurut prediksinya akan memberikan kontribusi hingga 30% terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional.
Perlu diketahui, kontribusi industri manufaktur tahun 2018 hanya 19,9% terhadap PDB. Padahal, di taun 2008 kontribusinya mencapai 24,7%. Artinya, selama 10 tahun ada penurunan 4,9%.
“Kalau di manufaktur perkiraan kami yang akan terjadi konversi cukup signifikan. Dulu itu indeksnya manufaktur terhadap kontribusi pertumbuhan ekonomi 24%, itu mungkin kalau terjadi bisa lebih dari itu, saya rasa ke 30% juga mungkin,” terang Hariyadi.
Konversi tersebut menurutnya akan terjadi pada pemain dalam industri manufaktur yang didominasi oleh perusahaan besar, menjadi skala usaha kecil dan menengah (UKM). Sedangkan, pengusaha menengah ke atas akan shifting ke pada bisnis memasarkan produk dari UKM itu saja.
“Contohnya manufaktur di sini garmen, sudah ada pemikiran mereka akan mengkonversi ini untuk dikerjakan UKM. Pelaku usaha menengah ke atas lebih kepada membantu manajemen, membantu pasar, tapi sudah nggak mau pegang produksinya lagi. Itu sudah mulai terjadi. Ini yang kita
harapkan akan banyak industri manufaktur yang terjadi seperti ini, pemainnya UKM. Yang tadinya mereka pemain besar di bidang ini, mereka lebih kepada menjaga kualitas dan mengambil barang offtaker. Dan saya yakin ada peningkatan,” papar Hariyadi.
Ia mengatakan, RUU Cipta Lapangan Kerja ini memang diyakini akan memicu perkembangan UKM di Indonesia. Meski tak menambah dari segi jumlah pemain, namun produktivitasnya justru akan meningkat.
“Kalau unit nggak banyak berbeda, kalau dari data Kemenkop UKM datanya sekitar 60 juta, tapi mereka itu tidak dalam posisi yang solid dari segi kemampuan usaha. Mungkin dengan ini pertumbuhannya relatif, tapi kemampuannya akan besar. Yang tadinya omsetnya di bawah Rp 4,8 miliar akan dengan cepat mereka bergerak. Lalu juga dari yang mikro jadi kecil, kecil jadi menengah,” imbuhnya.
Adapun indikator pemicu pertumbuhan UKM ini salah satunya penerapan upah per jam. Sehingga, UKM tidak wajib membayar upah minimum.
“Upah minimum kalau di Jakarta sudah Rp 4,2 juta. UKM skarang disuruh bayar Rp 4,2 juta untuk pekerjaannya, saya nggak yakin mereka bisa. Tapi aturannya akan gitu. Misalnya UKM dibebaskan dari upah minimum, otomatis mereka akan bisa melakukan itu,” ucap dia.
Secara keseluruhan, dengan pertumbuhan UKM tersebut, maka ia yakin daya beli masyarakat lapis bawah bisa meningkat. Hal ini tentunya akan menyumbang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Kami sebagai industri, itu yang kita mau. Karena terjadi distribusi pendapatan yang merata. Artinya masyarakat lapis bawah akan punya kemampuan daya beli,” pungkas Hariyadi.