Categories Nasional

Menyelisik Kemiripan Orientasi Politik KAMI dengan HTI

Gatot Nurmantyo. Seketika nama ini familiar di berita-berita. Mantan Panglima TNI itu menghadiri acara deklarasi Koalisi Aksi menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Alun-alun Kota magelang, Jawa Tengah, pada Jum’at (18/9) lalu. Deklarasi KAMI se-Jateng juga dihadiri tokoh KAMI yang lain Rochmat Wahab, Ketua Presidium KAMI Jateng Mudrick Sangidu, serta Ketua Presidium KAMI DIY Syukri Fandholi. “KAMI dimana-mana semakin tumbuh berkembang,” kata Gatot dalam orasi, seperti dilansir Detik.

Ormas Pemuda Pancasila merangsek ke lokasi deklarasi. Kepolisian menghalaunya, sehingga tidak terjadi bentrokan. Namun, penggerudukan terjadi setelah Gatot tidak lagi di lokasi. Setelah deklarasi pertama di Tugu Pahlawan beberapa waktu lalu, KAMI memang semakin masif membentuk barisan. Yang sempat heboh, tiga hari sebelum di Magelang, Selasa (15/9), Pengurus Cabang PMII Surabaya siap menurunkan massa jika deklarasi KAMI dilakukan di Surabaya. Apakah KAMI memang sedemikian riskan?

KAMI, sebagaimana ditegaskan Gatot, tidak punya persneling mundur. Sebagai gerakan moral, ia menegaskan bahwa tantangan akan banyak dihadapi. Berbagai daerah dan banyak aliansi menggelar aksi penolakan. Bahkan, Denny JA, pemilik Lembaga Survei Indonesia (LSI), KAMI memiliki tiga skenario politik. Pertama, membawa pemerintahan Jokowi jatuh sebelum berakhir 2024. Ini bisa saja terjadi, meski untuk sementara, kekuatan mereka belum cukup kuat untuk melakukannya.

Kedua, menemukan kandidat presiden untuk diusung pada Pilpres 2024. Denny JA menerangkan, jika berhasil solid hingga empat tahun mendatang, organisasi tersebut berpotensi menjadi pemimpin dengan menggandeng partai politik tertentu. Ketiga, hadir menjadi bunga demokrasi belaka atau sekadar pemanis pemerintahan saat ini. Yang terakhir ini bisa dilacak dari kekukuhan Gatot, bahwa KAMI bukanlah gerakan politik, melainkan gerakan moral.

Dari ketiga skenario tersebut, maka orientasi politik KAMI setali tiga uang dengan orientasi politik HTI. Para aktivis khilafah juga pemerintahan saat ini rubuh, lalu mendirikan yang sama sekali dianggapnya baru dan lebih islami. Atau selaras juga dengan agenda politik PA 212, yang gerak-geriknya mengarah kepada penentangan pemerintah demi pemerintahan baru dari tangan mereka. Hari-hari ini, HTI surut kembali, setelah sebelumnya sempat heboh gara-gara film dokumenter Jejak Khilafah-nya. Apakah mungkin mereka sudah menyelinap ke dalam KAMI itu sendiri? Ini, tentu, menarik untuk diulas.

KAMI Bentuk Makar?

Ketika suatu bangsa dirasa terjerembab dalam persoalan yang tidak lekas menemukan titik terang, saat itulah oposisi menemukan momentum menarasikan perubahan. Alih-alih memberikan kritik konstruktif kepada pihak pemerintah, mereka justru mendirikan kekuatan politik tandingan. Pada intinya, mereka yang merindukan perubahan ternyata memiliki kepentingan tersendiri. Apalagi, misalnya, para aktornya tetap itu-itu saja. Apakah KAMI bisa dikategorikan gerakan makar, jika demikian?

Pada saat yang sama, dalam dimensi keagamaan, kegundahan juga dibuat-buat. Realitas keagamaan dianggap tidak lagi ideal, dan idealisme palsu yaitu Khilafah Tahririyah, dipaksategakkan. Masalahnya, idealisme yang dimaksud berkaitan dengan politik kekuasaan, sehingga yang terjadi ialah spirit mengganti kekuasaan itu sendiri. Sampai di sini kita bisa menarik asumsi, bukankah dengan demikian gerakan HTI itu tidak ada bedanya dengan yang hari ini KAMI perjuangkan?

Setumpuk kejanggalan bisa kita pertanyakan, tetapi realitas politik tidak juga mendapati perbaikan. Yang benci tetap membenci, tidak peduli kemajuan apa pun telah didapat. Jika semangat NII ala Kartosoewirjo adalah menabrakkan keislaman dengan keindonesian, maka KAMI menjajalkan semangat untuk menabrakkan keindonesiaan dengan keindonesia. Caranya, yang satu merasa lebih negarawan, dan lainnya dituduh mencederai bangsa. Klaim-klaim, seperti sebelumnya pun tidak terelakkan.

Makar sendiri, sejujurnya, adalah istilah subjektif. KAMI jelas tidak akan mau dianggap makar, karena memang mereka orientasi perubahan. Apalagi ia dibentuk di masa-masa krisis pandemi seperti sekarang, di mana menggerakkan masa ke arah perubahan adalah mudah sekali. Sekarang mungkin yang ditawarkan adalah gagasan revolusi kepemerintahan. Rasa cemas terjadinya makar boleh jadi dianggap berlebihan. Halusnya, mereka tidak “memberontak”. Tetapi perihal “ambil alih”, itu pasti.

Baik KAMI maupun HTI, semua memiliki kepentingannya masing-masing. Meski keduanya juga berbeda karena HTI bukan hanya ingin mengambil alih kekuasaan melainkan merombaknya total, kekhawatiran akan gerakan Gatot Nurmantyo dkk itu tetaplah beralasan. Gabungan oposisi ke dalam satu payung besar di bawah Din Syamsuddin dan Gatot, bergerliya di tengah pandemi COVID-19 dengan mengedepankan kepentingan politik, bagaimanapun bukanlah ide yang bagus. Jelas.

HTI di Lapangan

Secara keorganisasian, HTI memiliki orientasi yang jelas, yakni sebagai organisasi transnasional yang bergerak di bidang kontestasi politik bertajuk kejayaan Islam. Karena itu, mereka banyak ditentang, tidak laku. Di Indonesia, Gus Muwafiq menyinyalir mereka tidak lebih dari organisasi musiman. Indonesia, yang beragam secara ras, suku, dan agama, terlalu mustahil untuk mereka jadikan satu komando, bahkan jelas-jelas akan ditolak oleh umat Islam Indonesia sendiri.

Tetapi satu hal yang patut dicatat: mereka mengusik umat. Kendati Indonesia tidak akan bisa mengakomodasi khilafah ala Hizbut Tahrir, tetapi kemasifan gerakan mereka pasti mencederai kesatuan dan persatuan. Dengan kata lain, khilafah tidak akan menyatukan Indonesia, tetapi propaganda mereka justru akan memecahkan-belahnya. Fakta ini kemudian bisa ditarik untuk menegaskan, bahwa KAMI juga demikian. Bahwa sekalipun mereka tidak bisa mengganti pemerintah hari ini, gerakannya justru menghapus integritas pemerintah itu sendiri.

HTI sekarang tidak ada dalam basecamp organisasi. Mereka sudah berpencar ke lapangan. Di lapangan, mereka bisa menjadi apa saja, bisa menyamar menjadi siapa saja. KAMI jelas berpegang teguh kepada Pancasila, tetapi bukan mustahil di dalamnya ada aktivis HTI yang tengah menyamar, sebab kepentingannya sama: mengganti pemerintah. Denny JA mengafirmasi bahwa koalisi tersebut majemuk. Ada oknum dari NU, Muhammadiyah, eks-pejabat, bahkan PA 212. Kesamaannya satu: oposisi.

Membicarakan kesamaan-kesamaan memang menarik. Hari ini, tidak ada gerakan yang benar-benar mengedepankan idealisme; semangat menuju Indonesia lebih baik. Semua hanya jargon belaka. Din Syamsuddin dan Gatot Nurmantyo berseru, Indonesia harus segara diselamatkan. Kesejahteraan adalah jaminannya. HTI pun demikian; mengubah pemerintahan agar Nusantara berjaya di bawah Islam. Tidak ada yang mampu menilik jelas, bahwa di balik jargon itu, mereka sama secara substansial: berebut politik kekuasaan.

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *