Polemik pemulangan orang Indonesia eks-ISIS semakin menyeruak ke permukaan. Ada yang pro namun tak sedikit yang menolak pemulangan warga Indonesia yang sudah memutuskan secara pribadi untuk berpindah ke Suriah untuk ikut dalam ISIS.
Setara Institute melalui wakil ketua Bonar Tigor Naipospos meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam pengambilan keputusan pemulangan. Sampai saat ini, Menteri Agama cenderung menginginkan pemulangan, sementara Menkopolhukkam dan Presiden sejauh ini cenderung menahan diri dan terkesan buying time dalam isu tersebut.
Setara menurut Bonar pun mengeluarkan pernyataan resmi untuk mendesak Pemerintah Indonesia segera merancang dan mengambil kebijakan komprehensif yang presisi sehubungan dengan keberadaan sejumlah anggota dan simpatisan ISIS asal Indonesia yang berada di kamp tahanan di Suriah dibawah otoritas Kurdi. Kekhawatiran publik di dalam negeri sangat beralasan, oleh karena itu, kehati-hatian memang diperlukan sebab menyangkut keamanan nasional.
“Ketergesa-gesaan dalam masalah ini jelas merupakan pendekatan yang tidak tepat, apalagi disinyalir beberapa di antara mereka adalah ekskombatan yang pernah bertempur sebagai tantara ISIS dan secara ideologis berwatak keras. Namun demikian, meskipun sejauh ini belum ada kesepakatan internasional mengenai bagaimana memperlakukan eks-anggota dan simpatisan ISIS, pemerintah harus realistis dan, cepat atau lambat, mesti mengambil sikap. Oleh karena itu, Pemerintah harus segera menyusun rencana kontingensi dan strategi yang menyeluruh mengenai keberadaan eks-anggota dan simpatan ISIS asal Indonesia,” ungkapnya pada wartawan melalui rilis, Jumat (7/2/2020).
Meski demikian, Setara juga mengingatkan pemerintah untuk bisa mengambil keputusan tepat terutama untuk anak-anak dengan usia 9 tahun ke bawah. Pasalnya, kondisi kamp pengungsian di bawah otoritas Kurdi tak begitu baik untuk fisik dan psikologis anak-anak tersebut.
“Otoritas Kurdi menyatakan bahwa keberadaan mereka (eks-ISIS) hanya menjadi beban bagi mereka, bukan hanya sosial-ekonomi, tapi juga keamanan. Namun, belum ada respons memadai dari dunia internasional. Meskipun demikian, sejumlah negara sudah mengambil tindakan secara parsial. Jerman dan Australia sudah mengambil inisiatif tersendiri untuk memulangkan sejumlah anak-anak, tanpa orang tuanya. Sedangkan USA mengambil sejumlah orang untuk diadili karena berkaitan dengan kasus teror yang berjalan di pengadilan,” sambung dia
Indonesia menurut Setara harus pula memperhatikan dampak bagi anak-anak khususnya di bawah 9 tahun. Namun harus ada identifikasi menyeluruh termasuk keluarga besar juga melibatkan ahli rehabilitasi medis dan psikologi.
“Semakin lama anak-anak itu tinggal di kamp tahanan, atmosfer yang buruk di kamp akan berdampak pada mereka, baik secara fisik maupun psikis. Semakin lama mereka disana, justru akan semakin terpapar oleh paham ekstrem ISIS dan dampak buruk situasi ekstrem disana. Apalagi dari sejumlah pemberitaan internasional, para perempuan yang masih keras ideologisnya berusaha mempertahankan pengaruhnya dan menekan perempuan lainnya yang berusaha moderat untuk tetap bertahan pada paham keagamaan dan politik ekstremnya. Sejalan dengan pemulangan anak-anak tersebut, dibutuhkan identifikasi keluarga besar mereka serta perancangan peran mereka dan para ahli rehabilitasi medis dan psikologis,” imbuhnya lagi.
Halili, Direktur Riset Setara Institute juga mengingatkan para politisi agar tidak memanfaatkan momentum isu pengembalian eks-ISIS tersebut untuk kepentingan partisan kelompok. Pendekatan kepentingan kelompok, apalagi sekedar untuk insentif elektoral pada hajatan-hajatan Pemilu ke depan, sama sekali tidak relevan untuk digunakan.
“Politisi untuk tidak menggunakan pertimbangan partisan kelompoknya dalam isu pemulangan warga eks-ISIS ke Indonesia. Pendekatan kepentingan kelompok, apalagi sekedar untuk insentif elektoral pada hajatan-hajatan Pemilu ke depan, sama sekali tidak relevan untuk digunakan. Kenegarawanan seluruh elit sangat dibutuhkan untuk mencermati dan mendekati kerumitan isu pemulangan eks-ISIS ini,” tegas dia.