Suarayogyakarta.com – Sebuah studi terbaru menunjukkan Papua Barat merupakan daerah dengan tingkat kerukunan beragama yang lebih tinggi daripada Ibu Kota Jakarta, bahkan yang tertinggi di Indonesia.
Kerusuhan yang terjadi beberapa waktu lalu di wilayah Papua pun dianggap tidak mencerminkan hubungan kerukunan beragama di sana.
Dalam studi terbaru yang dirilis Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Indonesia pekan ini, indeks kerukunan beragama di Papua Barat memiliki skor 82,1 -dari nilai maksimal 100 -yang berarti sangat tinggi.
Nilai Papua Barat ini nyatanya yang tertinggi di Indonesia, disusul oleh Nusa Tenggara Timur (81,1) dan Bali (80,1).
Provinsi Papua berada di urutan ke-6 dengan skor 79 di bawah Maluku (79,4).
Ibu Kota Jakarta justru berada di 8 terbawah indeks kerukunan beragama di Indonesia dengan skor 71,3 bersama dengan Aceh (60,2) -yang berada di posisi terakhir, Banten (68,9) dan Jawa Barat (68,5).
Meski demikian, tingkat kerukunan untuk Jakarta, Banten serta Jawa Barat masih tergolong tinggi jika dilihat dari parameter studi yang dilaksanakan selama periode Mei-Juni 2019 ini.
Survei yang dilakukan tehadap 13.600 responden di 34 provinsi Indonesia ini mengukur variabel toleransi, kesetaraan dan kerjasama antar pemeluk agama.
Variabel kesetaraan misalnya, hal ini salah satunya bermakna bahwa setiap warga negara punya hak yang sama sebagai kepala daerah atau memiliki hak mengekspresikan keyakinan di ruang publik di provinsi itu.
Menurut Ketua tim survei, yakni Muhammad Adlin Sila, posisi 3 teratas dalam indeks kerukunan beragama di Indonesia ini relatif sama setiap tahunnya, sejak survei tahunan ini diselenggarakan pertama kali pada 2009.
Ia menjelaskan tingginya tingkat kerukunan beragama di bagian timur Indonesia itu dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satu yang terpenting adalah modal sosial
“Modal sosial itu kan ada trust (rasa percaya), ada norma-norma mengenai hidup bertetangga, itu beda,” kata dia seperti dikutip dari ABC Indonesia.
“Kalau di NTT (Nusa Tenggara Timur) misalnya, sejak jaman kolonial Portugis misalnya, antara Muslim dan Kristen itu kan sudah hidup bertetangga, kawin-mawin, satu keluarga beragam agama, merayakan hari raya keagamaan juga sama-sama, itu sudah dari dulu. Beda dengan di Aceh misalnya,” jelas doktor lulusan Australia ini kepada ABC.
Di Papua, sebut Adlin, interaksi dengan pendatang yang berbeda agama sudah lama terjalin.
“Jadi kasus-kasus konflik yang belakangan terjadi tidak kemudian menjadi faktor yang memengaruhi karena itu, kalau dalam istilah sosiologi ya, tidak terjadi setiap saat.”
“Dan itu tidak mencerminkan real (kenyataan) hubungan kerukunan di sana,” papar Adlin.
Selain itu, sentimen minoritas juga turut memengaruhi. Meski warga Kristen di wilayah Papua termasuk mayoritas namun secara nasional masih tergolong minoritas.
“Jadi ini psikologis saja. Jadi kelompok minoritas itu harus memperlihatkan sikap yang menghormati gitu ya nilai-nilai dominan sehingga berbeda dengan daerah-daerah lain yang mayoritas,” kata alumnus Australian National University (ANU) ini.
Sementara jebloknya skor kerukunan di Ibu Kota Jakarta, dan dua provinsi terdekatnya yakni Banten dan Jawa Barat, disebabkan faktor seperti politik dan pendatang.
“Mungkin dinamika politik ya karena 3 daerah ini (Jakarta, Banten, Jawa Barat) paling kena ya imbasnya.”
“Misalnya sejak kasus Pilkada DKI terus Pilpres, Pileg, itu 3 wilayah ini yang paling terkena dampak dari polarisasi di masyarakat,” ungkap Adlin.
Terkait pendatang, ia mengatakan kelompok tersebut rentan membawa nilai-nilai mereka yang, disebutnya, eksklusif dari daerah masing-masing.
“Terus ketika di Jakarta misalnya, mereka hidup di enclave-enclave (kantong-kantong), pemukiman-pemukiman, kampung-kampung yang sesuai dengan etnis dan agamanya.”
“Jadi memang pembauran itu relatif hanya terjadi di tempat kerja mereka, di sekolah, tapi tidak di masyarakat,” terang Adlin.
Harus ciptakan kebersamaan
Sosiolog dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Musni Umar, membenarkan jika dinamika politik sangat memengaruhi kerukunan beragama di kota besar, utamanya Ibu Kota Jakarta dan dampaknya bisa berlangsung panjang.
“Politik itu kan, apalagi kita baru selesai Pemilu, itu pengaruhnya memang tinggi. Karena itu pertarungan kepentingan. Nah pertarungan kepentingan itu akhirnya menciptakan segregasi sosial.”
“Jadi tersegregasi sedemikian tingginya akibat kepentingan politik dan itu tidak mudah untuk merukunkan kembali,” katanya kepada ABC.
Mantan pengajar di Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebut tugas Pemerintah Indonesia adalah membangun kembali kebersamaan.
Namun ia menilai, apa yang sedang digalakkan Pemerintahan Jokowi saat ini justru bisa menjadi penghalang.
“Ini bisa juga tidak selesai-selesai karena Pemerintah mengintrodusir yang namanya radikalisme itu.”
“Dan yang disasar itu kan umat Islam. Itu akan semakin mengkristal permusuhan di kelompok-kelompok masyarakat,” ujarnya.
Faktor lain yang menghalangi kerukunan, sebut Musni, adalah kesenjangan yang kemudian menimbulkan sentimen sosial.
“Sentimen sosial itu yang kemudian menciptakan intoleransi. Jangan tiap hari bicara terorisme bicara radikalisme, itu akibat. Jadi kita ini berbicara akibat, tidak berbicara hulunya itu apa.”
“Hulunya itu ada ketidakadilan sosial, hukum dan lain-lain. Jangan bicara soal akibat maka masyarakat akan semakin terpecah.”